Rabu, 30 April 2008

Menciptakan Masyarakat Tamaddun


Menurut Mohammad Natsir






Menciptakan Masyarakat Tamaddun





Pengantar Redaksi:
Membicarakan dan mengenang Mohammad Natsir jelas tidak akan pernah lengkap, karena begitu saratnya khasanah "peninggalan" beliau dalam segala segi, baik agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, keteladanan, pemikiran, bahkan filsafat. Kali ini Fajar mengangkat salah satu "sudut kecil dari auditorium besar" peninggalan beliau.



Berikut hasil wawancara reporter Fajar dengan H. Mas'oed Abidin, salah satu kader beliau yang banyak mengikuti jejak langkah dan pemikiran beliau, bahkan sampai beberapa saat sebelum beliau menghadap ilahi di akhir hayat. Wawancara eksklusif ini ditulis kembali oleh Tamrin Kiram dan Kimpul.


Salah satu tema menarik saat ini adalah upaya menciptakan masyar­akat tamaddun (beradab). Konsep pemikiran ini merupakan antitesis terhadap degradasi moral yang dibawa oleh peradaban Barat.Konsep ini mulai difikirkan dan dirancang oleh beberapa politisi dunia, khususnya yang ada di Malaysia dan beberapa negara lain yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam.



Masyarakat tamaddun merupakan sebuah masyarakat integratif antara kondisi masyarakat yang ada, baik secara sosial, politik maupun ekonomi dengan problematika sosial dan pribadi yang ada di dalamnya. Ini sejalan dengan salah satu konsepsi Mohammad Natsir yang telah dirancang sejak tahun 1930‑an yang lalu, dan menjadi perwu­judan pada masa kini.


Dari Kesehatan sampai Mengatasi Adh'aful Iman
Berawal dari konsepsi tentang kesehatan. Mohammad Natsir membagi kesehatan atas empat bahagian. Pertama, kesehatan fisik. Kedua, kesehatan jiwa. Ketiga, kesehatan ide (pemikiran), dan keempat, kesehatan sosial masyarakat disekitarnya. Keempat kesehatan tersebut berada dalam ruang lingkup yang sama (integratif) yang memiliki interrelasi satu sama lain.



Interrelasi ini berada dalam ruang lingkup pemikiran Islam, yang dinilai oleh Buya Mas'oed Abidin sebagai sebuah garis tengah yang menjadi "benang hijau" terhadap segala bentuk pemikiran yang ada. Sebagai sebuah garis tengah yang menjadi "benang hijau", dia tidak mengalami gesekan‑gesekan pemikiran dan mengambil segala bentuk pemikiran konstruktif dan meninggalkan pemikiran destruktif.


Hal ini dikemukakan Mohammad Natsir melalui upaya membangun masyarakat besar melalui masyarakat kecil dan sederhana. Istilah yang pas untuk menjelaskan hal ini adalah melalui pembentukan cara hidup berdikari terhadap diri sendiri, tanpa tergantung kepada orang lain (self help), kemudian membantu orang lain tanpa pamrih, ikhlas karena Allah SWT (selfless help), terakhir adalah membentuk sebuah ketergantungan untuk membantu satu sama lain (mutual help).


Cara hidup ini merupakan konsepsi pemikiran Mohammad Natsir yang dikembangkan beliau menjadi dasar pembentukan kerjasama antara negara yang mendasari bentuk hubungan inernasional yang mampu menciptakan tata perdamaian dunia. Ketiga dasar tersebut merupa­kan dasar pembentukan masyarakat tamaddun (beradab), sebagaimana yang menjadi dasar pemikiran Anwar Ibrahim melalui buku "Kebang­kitan Asia" (The Asian Renaissance, 1995).


"Kebangkitan Asia" (The Asian Renaissance) bukanlah sesuatu yang bersifat "kebangkitan ekonomi", tetapi merupakan sesuatu yang bersifat moral (the moral renewance). Sebagai sebuah "pembersihan moral" (the moral renewance), maka peranan agama Islam menjadi penting. Kepentingannya terletak kepada kemampuan aplikasi dari segala ide atau pemikiran yang dilaksanakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh pengertian globalisasi yang diartikan sebagai ruang lingkup pemikiran yang bisa dilaksanakan di tengah masyara­kat (The policy making something worldwide in scope or applica­tion).


Relevansi pengertian "globalisasi" dalam konteks pemahaman ajaran agama Islam di atas dapat dilihat dari kata‑kata DR. Sidek Baba, timbalan Rektor UIAM Malaysia dalam seminar Kebangkitan Peranan Generasi Baru di Asia Tenggara di Pekanbaru 21‑23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pemahaman ajaran agama Islam dengan aspek globalisasi kehidupan yang terjadi dunia saat ini. Sebagai sebuah proses globalisasi, ajaran agama Islam tidak dapat berdiri sendiri, tanpa bersinggungan dengan lalu lintas ide atau pemikiran yang ada di dunia sekitarnya.


Interaksi ini mengharuskan pemahaman ajaran agama Islam tidak lagi secara eksklusif dalam ruang lingkup pergaulan hidup sehari‑hari dalam sebuah komunitas sosial yang tertutup dari dunia sekitarnya, tetapi harus bersifat inklusif untuk bisa dipahami oleh semua orang. Peranan pemikiran baru dalam mencerahkan prob­lematika sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam segenap ma­syarakat yang ada dari proses westernisasi yang dibawa kebudayaan Barat, merupakan salah satu antitesis terhadap masalah (kondisi) tersebut.



Pemikiran Mohammad Natsir merupakan pemikiran ahlul salaf yang berada di tengah‑tengah sebagai upaya penjelmaan umat pertengahan (ummathan wassatahan) yang dikemukakan ajaran Al Qur'an. Sebagai sebuah pemikiran aplikatif terhadap problemtika sosial yang ada, maka penerapan terhadap segenap ide (pemikiran) yang ada merupa­kan sebuah kebutuhan mutlak yang diharapkan masyarakat saat ini.


Frustrasi sosial yang melahirkan agresi dalam segenap bidang kehidupan dilahirkan oleh kesenjangan antara sebuah ide dengan aplikasi ide tersebut. Kesenjangan ini merupakan sebuah pemikiran Natsir yang diatasi oleh pembentukan masyarakat self help, self­less help dan mutual help di atas. Upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut hanya bisa dilakukan melalui kata‑kata terakhir, sebelum beliau wafat, yang diucapkan Natsir kepada Buya Mas'oed Abidin: "Berorientasilah kepada ridha Allah SWT."

Kata‑kata ridha merupakan maqam (tingkatan) terakhir dalam maqam (tingkatan) rohani kehidupan tasauf (pembersihan diri). Maqam ini hanya bisa dicapai setelah melalui maqam‑maqam di bawahnya, seperti taubat, wara, zuhud, shabr, fakir dan tawakkal.


Ketujuh maqam tersebut hanya bisa dilalui oleh mereka yang telah mengalami pencerahan (enlightenment), baik dalam bidang pemikiran maupun spritual rohani. Pencerahan (enlightenment) tersebut dilakukan oleh mereka yang telah menjelajahi berbagai pemikiran yang ada dan melakukan penyaringan (filter) terhadap segala bentuk pemikiran tersebut, agar melahirkan pemikiran bersih, jernih dan bisa diterima oleh semua pihak, baik mereka yang setuju maupun mereka yang berseber­angan dengan dirinya.


Proses ini dialami oleh Mohammad Natsir melalui kawah candradimuka intelektual melalui proses belajar yang panjang dengan berbagai guru‑guru beliau, mulai dari guru yang memiliki pandangan hidup dan pemikiran yang keras dan memil­iki fanatisme agama yang tinggi seperti tokoh PERSIS Ahmad Hassan sampai dengan tokoh moderat dan sosialis, seperti HOS Cokroamino­to.


Di samping itu, proses pencerahan dan sikap politik beliau diben­tuk juga oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup. Beliau tidak saja dianggap sebagai politisi aktif yang hidup dalam masyarakat, tetapi juga sebagai the political thinkers atau the political idea philospher.


Sebagai seorang the political thinkers atau the political idea philospher, maka peranan masyar­akat kecil merupakan ide (pemikiran) politik beliau yang utama. Ide (pemikiran) tersebut dituangkan dalam bentuk upaya mencipta­kan sebuah produk kerajinan kecil (handicraft) dalam masyarakat yang dinela saat ini sebagai "satu desa satu produk" (one village one product).


Pemikiran "satu desa satu produk" (one village one product) yang dilaksanakan oleh Gubernur Sumatera Barat, H. Hasan Basri Durin berdasarkan pola pengembangan ekonomi masyarakat kecil di Jepang, merupakan salah satu bentuk pemberdayaan rakyat kecil (people empowerment) yang menjadi tiang proses kompetisi perekonomian dunia dalam proses globalisasi tersebut.


Dalam proses globlaisasi ini, hanya produk‑produk yang mampu bersaing pada tingkat pasaran dunia yang mampu memenangkan persaingan besar. Persaingan pasar tersebut ditentukan oleh speksifikasi produk yang menjadi unsur "kepercayaan" (trust), seperti yang diungkapkan oleh penulis sejarah Francis Fukuyama, pria Jepang yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat dan menduduki Dekan di George Mason Universi­ty, Washington baru‑baru ini di Jakarta.


Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengemukakan tesis kesejar­ahan telah berakhir saat ini (The End of History), maka Natsir mengemukakan adanya tesis kesejarahan tersebut setiap saat dan tempat. Setiap ajaran Islam, mampu memberikan jalan keluar (solu­si) terhadap problematika sosial umat manusia, dia berada dalam hati manusia yang mampu menangkap tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi di sekitarnya. Mereka yang mampu menangkap tanda tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut, mereka adalah orang‑orang beriman.


Apatisme politik dan bersikap menjadi "pengamat" dalam perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut adalah mereka yang memiliki selemah‑lemah iman (adh'aful iman). Sikap diam (apatis) dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang selalu mengalami perubahan hanya bisa diatasi dan dihilangkan dengan mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan, jangan fikirkan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, apa yang ada sudah cukup untuk memulai sesuatu, jangan berpangku tangan dan menghitung orang yang lalu.


Keempat kata‑kata tersebut merupakan amanat Mohammad Natsir untuk tidak menunggu perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam hidup ini, tetapi memanfaatkan segala perubahan tersebut untuk berhu­bungan kehidupan dunia luar disekitarnya.


Sikap hidup menjemput bola, bukan menunggu bola merupakan sikap hidup untuk mengantisipasi selemah‑lemah iman yang menjadi kata‑kata kunci perubahan sosial, politik dan ekonomi yang diinginkan Mohammad Natsir melalui tiga cara hidup yang dikemukakannya. Yakni, bantu dirimu sendiri (self help), bantu orang lain (self less help), dan saling membantu dalam kehidupan ini (mutual help),


Ketiga konsep hidup ini tidak mengajarkan seseorang untuk tidak tergantung kepada orang lain, ketergantungan akan menempat­kan orang terbawa kemana‑mana oleh mereka yang menjadi tempat bergantung.







Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Hidupkan Dakwah Bangun Negeri
Jagalah Ibu Pertiwi, Jangan Jatuh di Pangkuan Komunis
Pak Natsir, dalam setiap pertemuannya dengan ahlul qurba yang juga merupakan inner circle dari perjuangan Islam dan harga diri umat di daerah, selalu mendengarkan keluhan tentang pesatnya gerakan misionaris. Lebih‑lebih sejak masa orde lama telah terkondisi seakan‑akan memberi peluang kepada gerakan missionaris tersebut atas dukungan orang‑orang komunis (PKI). Bahkan setelah PKI dihapuskan sebagai satu‑satunya tuntutan hati nurani rakyat dengan kepeloporan angkatan '66, orang‑orang komunis yang lari ketakutan mencoba berlindung di balik dinding lonceng‑lonceng gereja, setidak‑tidaknya inilah terjadi di Pasaman Barat, tatkala di bawah pimpinan Mayor Johan Rifai (Bupati Pasaman zaman Orla, narapidana seumur hidup, mantan aktifis PKI gol A).



Kondisi masyarakat yang runyam ini, menurut Pak Natsir hanya mungkin diperbaiki dengan amal nyata. Bukan dengan semboyan‑semboyan yang bisa memancing apatisme masyarakat atau melawan kebijakan penguasa di daerah.


Pak Natsir menasehatkan supaya kaedah yang selama ini telah dimiliki oleh umat Islam, ukhuwah dan persatuan, mesti dihidupkan terus. Diantaranya dengan membentuk perwakilan Dewan Dakwah Isla­miyah Indonesia di daerah propinsi Sumatera Barat yang diresmikan sendiri oleh Pak Natsir di Gedung Nasional Bukit­tinggi (sekarang gedung DPRD Tk. II Kodya Bukittinggi) 15 Juli 1968. (Baca juga: Kiprah DDII Tigapuluh Tahun red.)



Pertemuan bersejarah ini dihadiri oleh hampir seluruh ulama Suma­tera Barat. Para ulama tersebut tergabung dalam Majelis Ulama Sumatera Barat yang terang‑terangan anti komunis. Dalam ajaran Islam, Komunisme adalah kelompok dahriyyin atau atheis (golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan). Komunisme adalah ajaran kafir, begitu aqidah Islam.



Pertemuan itu juga diikuti oleh ninik mamak pemuka masyarakat yang datang berduyun‑duyun menyambut kehadiran pemimpin pulang. Antusias hadirin waktu itu terlihat secara spontan. Tidak ada satu kursipun yang kosong, tak ada tempat yang lowong yang tak diisi. Banyak hadirin yang berdiri bahkan ada yang hanya dapat duduk di lantai. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Perwaki­lan Sumatera Barat diresmikan sebagai perwakilan pertama di daerah di luar DKI Jakarta.




Kepengurusan pertama Dewan Dakwah di Sumbar dinakhodai para ulama kharismatik, seperti Buya H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo. Mantan Duta Besar RI di Irak yang juga adalah mantan Ketua Umum Masyumi Sumatera Tengah. Buya yang terkenal sangat anti komunis. Tahun 1968 Buya Datuk Palimo Kayo telah menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Sumbar, hingga akhir hayat beliau.


Kepengurusan Dewan Dakwah Sumbar diperkuat oleh Buya H. Nurman, Buya H. Anwar, Buya H. M. Bakri Dt. Rajo Sampono dan dari kalan­gan muda seperti Mazni Salam Dt. Paduko Intan, Djoefry Sulthany, Ratnasari, Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan lain‑lain.


Memang semua penggerak pertama Dewan Dakwah di Sumbar adalah keluarga besar Bulan Bintang dan tidak perlu dibantah, mereka adalah orang‑orang yang aktif dalam setiap gerak perjuangan Agama dan Bangsa. Jauh hari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, mereka adalah pribadi‑pribadi yang sangat anti komunis. Di antaranya ada yang berada pada barisan Perintis Kemer­dekaan.


Namun, masih ada saja kalangan yang berpandangan sinis. Kalangan itu melihat bahwa di antara pengurus pertama Dewan Dakwah Isla­miyah Indonesia Sumatera Barat yang diresmikan tersebut, dicap sebagai kelompok orang‑orang "bekas pemberontak PRRI", istilah yang dihidupkan oleh PKI di tahun 1960‑an.
Padahal Pemerintah RI secara resmi telah mengeluarkan amnesti dan abolisi sejak tahun 1961 (lihat Keppres No.:659/th 1961). Maksudnya, tidak ada yang kalah, tidak ada pula yang harus merasa menang. Semua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun saat itu situasi terasa sangat menyakitkan. Kembali ke pangkuan Ibu Perti­wi, di saat Ibu Pertiwi berada "di pangkuan komunis".


Memang suatu kenyataan sejarah bahwa pimpinan pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak didirikan Februari 1967 itu, terdiri dari bekas‑bekas pemimpin dan pejuang Islam yang tangguh dan sangat anti komunis.


Mereka adalah KH Faqih Usman, DR Mohammad Natsir, MR Kasman Singodimejo, KH Nawawi Duski, Prawoto Mangku­sasmito, Buya Duski Samad, Buya HMD Datuk Palimo Kayo, Buya H A Malik Ahmad, H Zainal Abidin Ahmad, KH Shaleh Widodo, Bukhari Tamam, KH Hasan Basri, Prof Osman Ralibiy, Prof DR HM Rasyidi, KH Rusyad Nurdin, DR Bahder Djohan, dr Ali Akbar, KH Yunan Nasution, MR Syafruddin Prawiranegara,MR Assa'at, KH Muchlas Rowi, KH Amiruddin Siregar, Mokhtar Lintang, KH Gaffar Ismail, yang seba­gian mereka tercantum sebagai Badan Pendiri Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ketua Umum yang dipegang oleh Bapak DR. Mohammad Natsir diperkuat Sekretaris Umum Bapak Buchari Tamam, sampai kedua‑dua beliau itu dipanggil oleh Allah SWT.


Komposisi tersebut memang terdiri dari pemimpin‑pemimpin bekas partai Masyumi. Partai yang telah membubarkan dirinya karena berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintah Soekarno. Pemerin­tahan Orde Lama yang nyata‑nyata telah memberi angin berkembangn­ya komunis di Indonesia.
Terbukti pula, sebagian dari mereka, para pemimpin keluarga besar Bulan Bintang itu, adalah pelaku‑pelaku aktif, atau simpatisan PRRI, yang pada tahun 1961‑1967 oleh pencinta komunis disebut sebagai "bekas pemberontak PRRI".



Keberadaan keluarga Bulan Bintang dan bekas PRRI di Sumatera Barat waktu itu sebagai jawaban dan merupakan konsekwensi logis dari anti komunis. Keluarga Bulan Bintang dan PRRI jelas‑jelas merupakan satu kelompok yang memiliki ciri‑ciri khas /karakteris­tik (hal yang mumayizat) sebagai kelompok anti komunis, sudah sejak masa lalu, jauh sebelum adanya angkatan '66 atau bangkitnya Orde Baru.


Karena itu khusus untuk daerah Sumbar, kehadiran Dewan Dakwah disambut sebagai suatu harapan "yang akan mampu menjawab tantan­gan". Dewan Dakwah dianggap sangat istiqamah sebagai kekuatan anti komunis yang jelas‑jelas seiring dengan misi orde baru ketika itu sebagai orde anti komunis di Indonesia.


Keberadaan Dewan Dakwah diterima oleh kalangan tua dan muda seba­gai suatu kekuatan baru dalam memelihara kerukunan umat dan kejayaan agama. Hanya sebahagian kalangan yang tidak senang. Mereka umumnya kelompok‑kelompok non‑Islam yang mencemaskan keberadaan Dewan Dakwah. Mereka cemas seakan‑akan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia akan mencungkil kembali luka lama yang mulai bertaut.
Namun Pak Natsir menasehatkan: "Gubahlah dunia dengan amalmu dan hidupkan dakwah bangun negeri".





Menghidupkan Amal, Membentengi Aqidah



Memelihara Kerukunan dalam Beragama
Memelihara daerah dari bahaya gerakan Salibiyah berarti juga menjaga keutuhan nilai‑nilai adat yang terang‑terangan menyebut­kan bahwa ranah ini adatnya bersendi syara' dan syara' bersendi Kitabbullah. Selain itu memelihara keutuhan ukhuwah hanya dimung­kinkan dengan menghidupkan kembali nilai‑nilai "tungku tigo sajarangan" dalam melibatkan unsur‑unsur alim ulama ninik mamak dan para cendekiawan baik yang duduk dalam pemerintahan maupun yang ada di kalangan perguruan tinggi. Juga tak dapat dilupakan tentang peran kegotong‑royongan sebagai buah dari ajaran ta'awun sebagai inti aqidah tauhid.




Amal nyata yang diprogramkan oleh Pak Natsir dan ditinggalkan untuk dikerjakan di Sumatera Barat merupakan program yang amat monumental. Ada lima program pokok yakni:



1. Gerakkan kembali tangan umat melalui penguasaan keterampilan di desa‑desa sebagai usaha membina kesejahteraan bersama, artinya menghidupkan kembali ekonomi umat di desa‑desa. Desa adalah benteng kota dalam artian perkembangan ekonomi yang sesungguhnya.


2. Hidupkan kembali lembaga puro. Yakni kebiasaan menabung dan berhemat dalam satu simpanan bernama puro. Juga menghidupkan kebiasaan berinfaq, bersedekah dan berzakat sebagai suatu usaha pelaksanaan syariat Islam, menghimpun dana dari umat yang berada untuk dikembalikan kepada umat yang lemah (dhu'afak).


3. Hidupkan kembali Madrasah‑madrasah yang sudah lesu darah, karena kehabisan tenaga pada masa pergolakkan. Hidupkan masjid bina jama'ah dan tumbuhkan minat seluruh masyarakat untuk menghormati ilmu dan memiliki kekuatan Iman dan Tauhid, terutama memulainya dari kalangan generasi muda.


4. Perhatikan kesehatan umat dengan mendirikan Rumah Sakit Islam. Bila kita terlambat memikirkan kesehatan umat maka orang lain akan mendahuluinya, bisa‑bisa terjadi nantinya jalan dialih orang lalu. Membangun Rumah Sakit Islam adalah ibadah karena ada suru­han untuk berobat bagi setiap orang yang sakit (hamba Allah). Gerakan ini bisa berarti juga memfungsikan para ahli di bidangnya yang keislamannya sama bahkan tidak diragukan.


5. Perhatikan nasib pembangunan masyarakat di Mentawai. Mentawai itu adalah daerah kita dan semestinya kitalah yang amat berkepen­tingan dalam membangunnya. Bila orang bisa berkata bahwa Mentawai ketinggalan sebenarnya yang disebut ketinggalan adalah kita yang tak mau memperhatikan mereka di Mentawai itu.
Kelima program ini minta dilaksanakan tanpa harus menunggu waktu dan dapat diprioritaskan mana yang mungkin didahulukan walaupun sebenarnya kelima‑limanya merupakan pekerjaan yang amat integral. Modal kita yang utama untuk mengangkat program ini adalah kesepa­katan semua pihak dan dorongan mencari ridha Allah, begitu Pak Natsir mengingatkan kepada pemimpin‑pemimpin di kala itu.




Dari dorongan‑dorongan tersebut berbentuk taushiah pada mulanya akhirnya membuahkan hasil nyata.


Pada Oktober tahun 1969 Balai Kesehatan Ibnu Sina (cikal bakal Rumah Sakit Islam Ibnu Sina) yang mengambil tempat di rumah Dr. Yusuf dan rumah keluarga Dr. M. Jamil di Bukittinggi diresmikanlah beroperasinya Balai Keseha­tan Ibnu Sina oleh Proklamator Republik Indonesia Bapak. DR. Mohammad Hatta.


Satu sejarah baru telah dimulai yakni membangun balai kesehatan sebagai rangkaian dari suatu ibadah dan gerak dakwah. Keberadaan Balai Kesehatan ini disambut oleh seluruh lapisan masyarakat dari desa‑desa hingga ke kota, oleh pegawai sampai petani, dari ulama dan pejabat hingga pedagang dan perantau.
Serta merta seluruh pihak‑pihak tersebut membuka puro (persediaan harta) menyalurkannya dengan ikhlas untuk berdirinya Balai Kese­hatan Islam di Bukittinggi dan akhirnya menyebar ke Padang Pan­jang, Padang, Payakumbuh, Kapar (Pasaman Barat), Simpang Empat dan Panti dalam waktu yang sangat pendek hanya berjarak tiga tahun setelah peresmiannya dan akhirnya menjadi Rumah Sakit Islam Ibnu Sina.


Apa yang diperbuat oleh misi baptis selama ini telah dapat dija­wab oleh umat Islam di daerah Sumatera Barat dengan suatu amal nyata yakni melalui program dakwah illallah dalam bidang keseha­tan.


Seiring dengan itu masalah pendidikan pun dihidupkan seperti perhatian penuh terhadap lembaga pendidikan yang sudah ada (Thawalib Parabek, Thawalib Padang Panjang, Diniyah Padang Pan­jang dan banyak lagi yang lain). Disamping madrasah yang sudah ada dihidupkan pula madrasah baru seperti Aqabah di Bukittinggi dan madrasah‑madarasah Islam yang tumbuh dari masyarakat di desa‑desa.


Masalah keterampilan seperti pertanian dan peternakan terpadu di Tanah Mati Payakumbuh dan pemanfaatan lahan‑lahan wakaf umat di Rambah Kinali mulai di garap. Tujuan utamanya tidak hanya sekedar untuk mendatangkan hasil secara ekonomis namun lebih jauh dari itu. Diharapkan sebagai wadah pembinaan dan pelatihan generasi muda.


Pembangunan rumah‑rumah ibadah terutama di kampus‑kampus (masjid kampus) dan Islamic Centre tetap menjadi perhatian utama. Walau­pun ada suatu kampus yang amat memerlukan pembangunan sarana ibadah (masjid) merasa enggan dan takut untuk menerimanya terang‑terangan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia karena takut terbias politik Keluarga Besar Bulan Bintang (Masyumi). Seperti contoh dibangunnya masjid kampus di tengah komplek UNAND dan IKIP di Air Tawar Padang yang terhalang beberapa lama hanya karena ketakutan terhadap bayangan Masyumi semata. Namun akhirnya dengan pendekatan yang dilakukan oleh orang‑orang tua diantaranya Hasan Beyk Dt. Marajo dan Rektor IKIP Padang Prof. DR. Isyrin Nurdin terbangunkan jugalah masjid kampus yang diidamkan oleh setiap mahasiswa dan civitas akademika kedua perguruan tinggi di Padang itu. Dan sampai sekarang masjid kampus itu berkiprah dengan baik dengan nama Masjid Al‑Azhar kampus IKIP Air Tawar Padang.


Ketakutan pada Dewan Dakwah sejak dari mula merupakan bayangan tanpa alasan hanya sebagai suatu trauma psikologis semata atas pernah terjadinya pergolakan daerah (PRRI) dan pandangan yang kurang ilmiah terhadap Masyumi.


Suatu hal yang aneh memang bila dibandingkan dengan jumlah Ummat Islam di daerah Sumatera Barat yang boleh dikata hampir 100%, di kala sebahagian kecil diantar­anya menjadi phobi dengan gerakan Islam yang kebetulan dijalankan oleh orang‑orang yang kata mereka adalah ex. Masyumi atau Keluar­ga Besar Bulan Bintang.


Amar Makruf Nahi Munkar


POLITIK DAKWAH
AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR
Oleh : H. Mas’oed Abidin

Di waktu pemberontakan Gestapu/PKI, Muhammadiyah memutuskan dalam Musyawarah Kerja Nasional pada bulan November 1965 yang berlangsung di Asrama Haji Jalan Kemakmuran Jakarta bahwa pembubaran Partai Komunis Indonesia adalah ibadah.
Dalam waktu yang bersamaan Organisasi Nahdatul Ulama yang disampaikan oleh K.H. Abdul Wahid Hasbullah dan K.H. Masykur mengatakan bahwa wajib hukumnya membubarkan PKI.
Kegiatan Politik yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah dalam kerangka dakwah ,amar makruf nahi munkar. Kita dituntut harus mampu membangun kualitas kehidupan yang mampu bersaing. Dengan segera melakukan konsolidasi internal, mampu mengembangkan tata pergaulan antar kelompok.
Diantara tahun 1966 1980 sering sekali dilakukan kunjungan kepelosok pelosok desa oleh para da'i dan mubaligh , mengunjungi umat. Di kala itu, hubungan kedesa desa sangat sulit. Tidak jarang harus ditempuh berjalan kaki, paling paling berbon-cengan dengan sepeda, di sambung bendi atau pedati. Program waktu itu sederhana sekali, "hidupkan dakwah bangun negeri". Begitu yang dilakukan kedaerah daerah di Binjai, Rao Mapat Tunggul, Lawang dan Baringin, terus ke Palembayan dan Tantaman. Dari Maninjau, Lubuk Basung, terus ke Padusu¬nan dan Pariaman dan Kurai Taji. Menyatu kunjungan kunjungan itu ke Guguk Kubang tujuh Koto, ke Pangkalan Muara Paiti, bahkan sampai ke Muara Mahat dan Bangkinang. Sama juga halnya ke Taram, Situjuh dan Lintau serta selingkar Padang Panjang dan Tanah datar, hingga ke Koto Baru dan Sungai Rumbai di Sijunjung, malah tidak jarang diteruskan pula ke Muara Bungo.
Arus perubahan itu bisa berbentuk makin meluasnya tuntutan terhadap hak hak asasi dan keadilan, dan demokra¬tisasi (sosial politik), bisa pula berbentuk makin berkem¬bangnya dominasi dari sistim ekonomi kapitalis yang beraki¬bat makin meluasnya jurang antara dhu'afa dan aghniya dalam pandangan ekonomi. Bahkan bisa berkembang menjadi di abaikannya nilai nilai agama yang berakibat dapat menjung¬kir balikkan nilai nilai moral dan spiritual yang sudah mapan dimiliki oleh masyarakat kita.
Semuanya karena pengaruh pandangan bahwa materri (budaya kebendaan) adalah diatas segala galanya, sebagai suatu gambaran kehidupan "laa diniyah", sehingga terbukalah pintu kemaksyiathan dan kemungkaran, kriminalitas dan krisis moral.
Ilmu pengeta¬huan dan teknologi bergerak pula ke arah perubahan posisi menjadi "berhala baru", yang berujung kepada terbukanya peluang terciptanya masyarakat "dahriyyin", dan pada akhir¬nya hilanglah sibgah (jati diri) manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia, yang punya fithrah dan hati nurani . Semuanya adalah ancaman serius bagi kualitas lingkungan serta rusaknya sistim kebudayaan dan menurunnya kualitas manusia.
BERTEMU UMAT
Hampir selalu pertemuan itu dilangsungkan pada sarana sarana yang dibangun umat milik persyarikatan. Umat datang dari sekitar, dari gubuk gubuk reot di ladang tepi hutan, memakai suluh daun kelapa, bila kebetulan malam telah tiba. Yang dibicarakan adalah masalah umat itu sendiri. Bagaimana mereka bisa membenahi kehidupan ekonominya degan memanfaatkan alam sekitarnya, hidup dan tenaga yang dianugerahkan Allah kepada Nya. Memelihara kesatuan yang sudah ada, memupuk kekeluargaan sesama, membudayakan "berat sepikul ringan sejinjing" dalam mengangkat dan mempersama¬kan amal berat yang di hadapi, sehingga lahirlah motivasi dan inovasi ditengah lingkungan mereka.
Selalu saja terjadi, pertemuan pertemuan ini berjalan sedari malam sampai pagi, bahkan di sambung sore harinya, ditutup dengan "tabligh akbar" di malam hari, dengan meng¬hadirkan seluruh lapisan umat tanpa kecuali. Yang terjadi adalah proses integrasi, dan penyebaran informasi.
Para remaja, generasi muda duduk selingkar ustadz nya selesai mengaji, berbincang bincang sampai pagi. Untuk selanjutnya besok hari, da'i pun pergi meninggalkan desa dengan segudang perasaan di hati, untuk kemudian akan disampaikan kepada teman teman dan "orang orang tua" di tingkat propinsi. Yang lahir seketika itu adalah :
• terbentengi umat dari proses pemurtadan yang sedang mengintai,
• pemantapan kaderisasi dan pemeliharaan aqidah secara langsung,
• pembinaan kerukunan antar warga, lahirnya partisipasi aktif, dalam membangun diri dan membangun negeri,
• menyebarnya informasi, diperkenalkannya khittah, diin-gatkan kembali bahaya dan ancaman zaman,
• tumbuhnya umat yang mandiri (sosial, ekonomi, dan musyawarah, demokrasi),
• terbentuknya persepsi dalam menyatukan langkah positif memelihara nilai nilai luhur yang sudah mapan, pada setiap lapisan dan kalangan.
Hal diatas sangat dimungkinkan karena ynag melibatkan diri dalam kegiatan tersebut adalah seluruh unsur unsur yang ada di dalam negeri. Bahkan sejak dari perangkat dusun, desa hingga kecamatan, serta kalangan ninik mamak, pemuka masyarakat serta alim ulama, pemuda pemudi generasi muda, yang semuanya adalah potensi yang berpotensi dalam pembangunan berwawasan lingkungan. Perjalanan dakwah seperti itu mengasyikkan, sehingga lelah dan jarak tidak menjadi halangan, karena yang terpaut adalah "taalaful qulub" pertautan hati dengan hati . Bagaimanakah potret itu kini ? Setelah tiga dasawarsa musim berlalu ??. Sering terjadi, ustadz dan da'i yang juga berpredi¬kat penggerak amal usaha persyarikatan atau da'i pembina organisasi mereka telah cepat cepat meninggalkan umat secepat dia datang. Sehingga yang di kupas hanya sebatang kulit luar. Memang pernah terjadi, ada usaha usaha terencana dan sistematik untuk memisah¬kan nilai nilai kehidupan bangsa yang beradab dan beradat terutama di Nusantara Indonesia ini dari ajaran Agama Islam. Sungguhpun itu terja¬di di penghujung abad 19 dan permulaan berada diawal abad ke 20.

TANGGAP DENGAN KEADAAN
Namun keadaaan sede¬mikian itu segera terantisipasi oleh kearifan dan kecekatan para ulama dan cendikiawan kita. Kondisi kita pun di saat itu berada di dalam suasana tekanan penjajah dengan sistem imperialsime dan kapitalisme.
Sederetan nama nama para pemimpin kita, secara sambung bersambung telah mengukir sejarah dinegeri ini, dengan masuknya kita ke era pemba¬ruan (tajdid) itu. Nama nama itu tidak akan terhapuskan oleh sejarah, mulai dari Panglima Diponegoro, Hasanuddin, T. Cik Di Tiro, Panglima Polem, sampai kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dengan serentetan murid murid beli¬au, diantaranya K. H. Ahmad Dahlan, Syeikh Haji Abdul Karim Amarullah (Ayahanda HAMKA) dan banyak lagi yang tidak tersebutkan dari pada yang mampu diungkapkan. Deretan para pemimpin umat itu, semuanya memiliki prinsip kekerabatan yang mendalam, ukhuwah yang jernih, ilmu yang resikh, dan pendirian yang tak tergoyahkan dan khittah yang jelas.
Diatas segalanya itu, Tauhid yang kokoh serta istiqamah dalam menjalankan khittah yang telah digariskan. Menarik untuk disimak, dari tauladan keperjuangan dakwah beliau beliau itu, adalah hampir seluruhnya memiliki "surau" dan “lahan” tempat pembinaan kader (mengaji), dan punya sekolah (madrasah) mempersiapkan umat pengganti. Satu suasana yang indah, bila kita ungkapkan yang sudah terjadi "masa doeloe" dari pimpinan pimpinan pergera¬kan dakwah persyarikatan. , sebatas yang kita kutip dari pengalaman pendahulu pendahulu kita.
Suatu ketika, pada hari pekan di Padang Panjang, konsul Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera Barat) yaitu Buya A.R. St. Mansur bertemu dengan pimpinan Muhammadiyah dari Lintau. Beliau bertanya "Bagaiman perkembangan sekolah di Lintau". Sekolah yang ditanyakan itu, tentulah sekolah Muhammadiyah, yang merupakan satu sarana amal usaha Muhammadiyah. Sang pengurus Muhammadiyah Lintau ini, menjawab dengan gugup, sebab perkembangannya sedikit menurun, karena murid mulai kurang dan dan guru Muhammadiyah mulai pindah ke daerah lain. Mendengar ini Buya A.R. St. Mansur berkata, "Baiklah Insya Allah hari Kamis depan saya akan ke Lintau". Berita tersebut segera menyebar di sekeliling Lintau, sejak dari Batu Bulek sampai ke buo, bahwa Konsul Muhammadiyah akan datang. Sibuklah masyarakat umat utama itu, dan tepat pada hari yang dijanjikan Buya A.R. St. Mansur datang di Lintau, dan menginap di rumah pegurus Persyarikatan. Pimpinan pimpinan persyarikatan dari daerah sekeliling menyempatkan betul untuk hadir, bahkan ada yang dari Hala¬ban sampai ke Tanjung Ampalu.
Umat umumpun merasakan nikmat kehadiran beliau dengan satu "tabligh besar".
Beliau telah menanamkan urat di hati umat. Akhirnya persoalan segera teratasi.
Tanggap¬nya K. H. A. Malik Ahmad yang waktu itu berjabatan Kepala Jawatan Sosial Propinsi Sumatera Tengah, bertanya tentang amal amal usaha Muhammadiyah tatkala beliau bertanya kepada pengelola Panti Asuhan Muhammadiyah Mandiangin. "Bagaimana keadaan anak anak panti … ?". Dengan sedikit kecut dan mengeluh pengurus pengelola menyatakan bahwa sekarang ini bantuan untuk panti sedikit macet. Beliau tanggapi “Insya Allah, sebentar lagi saya akan datang ke sana, tolong beri tahu keluarga". Dengan sedikit tergopoh pengelola panti asuhan yatim Muhammadiyah (A'syiyah) pulang dengan tugas mengumpulkan keluarga dan kerabat. Selang beberapa lama K. H. A. Malik Ahmad datang di Panti Asuhan Yatim yang menjadi amal usaha persyarikatan ini. Rupanya, inti masalah adalah terhentinya bantuan dari Jawatan Sosial. Buya Malik Ahmad segera meminta, buatlah surat dan saya akan tanda tangani, dan urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab pengurus.
Besar yang kita kutip dari peristiwa kecil ini.
a. Dengan nilai nilai "mawaddah fil qurba" (kekerabatan yang mendalam), dapat dihindari perbedaan visi, dan bersih dari kepentingan kepentingan konflik internal maupun in¬teres pribadi, sehingga pengambilan keputusan cepat dilaku¬kan (atisipasi aktif).
b. Umat di dorong aktif memiliki mutu (kualitas) kemandi¬rian dan percaya diri, karena pemimpin persyarikatan memi¬liki komitmen yang jelas dan terhindar dari pelunturan akhlak (status, organisasi, khittah).
c. Terpeliharanya hubungan kerjasama yang terpogram, atas dasar sama sama bekerja dengan berbagai pihak sehingga kepentingan kepentingan gerak persyarikatan menjadi sangat strategis (diterima oleh semua kalangan).***

Gali dari Ajaran Islam


Pandangan Bapak DR. Mohamad Natsir,
Tentang Sumber Daya Manusia Berkualitas
Dalam Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah


GALI DARI AJARAN ISLAM

Oleh: H. Mas’oed Abidin



Ajaran Islam sangat banyak memberikan dorongan kepada sikap-sikap untuk maju, antara lain:


1. Keseimbangan

Hukum Islam menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan perkembangan jasmani "Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara" (Hadist).

"Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya". (Hadist).


2. Self help

Mencari nafkah dengan "usaha sendiri", dengan cara yang amat sederhana sekalipun adalah "lebih terhormat", daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain : "Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta". (Hadist).



Diperingatkan bahwa membiarkan diri hidup dalam kemiskinan dengan tidak berusaha adalah salah "Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (keengkaran)" (Hadist).


3. Tawakkal


Tawakkal bukan berarti "hanya menyerahkan nasib" kepada Tuhan, dengan tidak berbuat apa-apa. Umar bin Khattab RA mengatakan, Jangan kamu menadahkan tangan dan berkata : “Wahai Tuhanku, berilah aku rezeki, berilah aku rezeki", sedang kamu tidak berikhtiar apa-apa. Langit tidak menurunkan hujan emas ataupun perak.

"Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal". (Atsar dari Shahabat).
Tak ada kebun tempat ia bertanam, tak ada pasar tempat ia berdagang, tetapi tak kurang, setiap pagi dia terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore dia kembali dalam keadaan "kenyang".


4. Kekayaan Alam

Konsep ajaran Islam mengarahkan pikir manusia kepada alam sekelilingnya. Di arahkan perhatian kepada alam sekeliling yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kepada alam tumbuh-tumbuh yang indah, berbagai warna, yang menghasilkan buah bermacam rasa. Kepada alam hewan dan ternak serba guna dapat dijadikan kendaraan pengangkutan barang berat, dagingnya dapat dimakan, kulitnya dapat dipakai sebagai sandang.


Kepada perbendaharaan bumi yang berisi logam yang mempunyai kekuatan besar dan banyak manfaat.

Kepada lautan samudera yang terhampar luas, berisikan ikan dan berdaging segar, dan perhiasan yang dapat dipakai, permukaannya dapat diharungi dengan kapal-kapal; supaya kamu dapat mencari karunia-Nya (karunia Allah), dan supaya kamu pandai bersyukur".

Kepada bintang di langit, yang dapat digunakan sebagai petunjuk-petunjuk jalan, penentuan arah bagi musafir".


5. Time - Space - Consciousness


"Dibangkitkan kesadaran kepada ruang dan waktu (space and time consciousness) kepada peredaran bumi, bulan dan matahari, yang menyebabkan pertukaran malam dan siang dan pertukaran musim, yang memudahkan perhitungan bulan dan tahun, antara lain juga saat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima kepada kepentingan nya waktu yang kita pasti merugi bila tidak diisi dengan amal perbuatan. "Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup" (Al-quran al Karim).


"Dibandingkan kesadaran kepada bagaimana luasnya bumi Allah ini" dianjurkan supaya jangan tetap tinggal terkurung dalam lingkungan yang kecil, dan sempit"12) dan Dia lah yang menjadikan bumi mudah untuk kamu gunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali.


Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan".



6. Jangan Boros


"Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri,agar jangan melewati batas, dan berlebihan ; "Wahai Bani Adam, pakailah perhiasanmu, pada tiap-tiap (kamu pergi) ke masjid (melakukan ibadah); dan makanlah dan minumlah, dan jangan melampaui batas; sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".(Al Quran).



Kalau disimpulkan ;

Alam di tengah-tengah mana manusia berada ini, tidak diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sia-sia, dalamnya terkandung faedah-faedah kekuatan, dan khasiat-khasiat yang diperlukan oleh manusia untuk memperkembang dan mempertinggi mutu hidup jasmaninya.

Manusia diharuskan berusaha membanting tulang dan memeras otak untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya itu, menikmatinya, sambil mensyukurinya, beribadah kepada ilahi, serta menjaga dari pada melewati batas-batas yang patut dan pantas, agar jangan terbawa hanyut oleh materi dan hawa nafsu yang merusak. Dan ini semua adalah suatu bentuk persembahan manusia kepada Maha Pencipta, yang menghendaki keseimbangan antara kemajuan dibidang rohani dan jasmani.


Sikap hidup (attitude towards life) yang demikian, tak dapat tidak merupakan sumber dorongan bagi kegiatan penganutnya, juga di bidang ekonomi, yang bertujuan terutama untuk keperluan-keperluan jasmani (material needs). "Hasil yang nyata" dari dorongan-dorongan tersebut tergantung kepada dalam atau dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa penganutnya itu sendiri, kepada tingkat kecerdasan yang mereka capai dan kepada keadaan umum di mana mereka berada.


Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pula pelajaran-pelajaran antara lain



Bekerja.


Masyarakat Minang dengan adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah itu, tidak menyisakan suatu tindakan lalai.


.Ka lauik riak mahampeh. Ka karang rancam ma-aruih. Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh. Jiko mencancang, putuih – putuih. Lah salasai mangko-nyo sudah

Caranya,


Senteng ba-bilai, Singkek ba-uleh. Ba-tuka ba-anjak. Barubah ba-sapo.


Anggang jo kekek cari makan, Tabang ka pantai kaduo nyo, Panjang jo singkek pa uleh kan, mako nyo sampai nan di cito,


Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak man janguak, Adat isi bari mam-bari, Adat tidak salang ma-nyalang, (basalang tenggang.)


Suatu masyarakat madani yang diidamkan terlihat dalam kesepakatan dan seia sekata, dengan mengedepankan solidaritas berbangsa. Karajo baiak ba-imbau-an, Karajo buruak bahambau-an, Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru.


Merlihat dan mencermati setiap perkembangan akan mendorong seseorang siap menghadapi semua perubahan. Dan tidak didorong untuk bertindak gegabah. Selalu mengutamakan disiplin dan taat asas. Jiko mangaji dari alif, Jiko babilang dari aso, Jiko naiak dari janjang, Jiko turun dari tanggo. Adat di Minangkabau mengajarkan supaya seseorang memiliki kearifan dan keteraturan.


Di samping diapun mesti mengerti bahwa prinsip perbedaan pendapat mesti dihormati. Suatu prinsip demokrasi egaliter. Pawang biduak nan rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, Disinan api mangko hiduik.


Suatu iklim watak (mental climate) yang membentuk masyarakat memiliki etos kerja tinggi.


Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuat mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja. Dek sakato mangkonyo ado,


Dek sakutu mangkonyo maju, Dek ameh mangkonyo kameh, Dek padi mangkonyo manjadi.


Pemanfaatan alam disesuaikan dengan fungsi dan kondisi. Artinya bertindak terprogram. Sama sekali tidak secara gegabah.


Nan lorong tanami tabu, Nan tunggang tanami bambu, Nan gurun buek kaparak. Nan bancah jadikan sawah, Nan munggu pandan pakuburan, Nan gauang ka-tabek ikan, Nan padang kubangan kabau, Nan rawang ranangan itiak.


Alah bakarih samporono, Bingkisan rajo Majopahik, Tuah basabab bakarano, Pandai batenggang di nan rumik. Latiak-latiak tabang ka Pinang. Hinggok di Pinang duo-duo, Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo.


Kemakmuran :


Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang.



Mengidamkan suatu kemakmuran, mesti diirngi dengan gerak nyata yang ditopang oleh semangat dan gagasan penuh perhatian. Kehati-hatian dalam bertindak, arif dan sensitive menjadikan masyarakat madani bersikap egaliiter dalam berdemokrasi. Ini menjadi cirri utama masyarakat beradat di Ranah Minang. Ingek sabalun kanai, Kulimek balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai. Agak-agak nan ka-tingga.


Teranglah sudah ...., bagi setiap orang yang secara serius ingin berjuang di bidang pembangunan masyarakat lahir dan batin material dan spiritual pasti dia akan menemui disini satu iklim (mental climate) yang subur bila pandai menggunakannya dengan tepat akan banyak sekali membantunya dalam usaha pembangunan itu.


Lah masak padi 'rang singkarak, masaknyo batangkai-tangkai, satangkai jarang nan mudo, Kabek sabalik buhus sontak, Jaranglah urang nan ma-ungkai, Tibo nan punyo rarak sajo. Artinya diperlukan orang-orang yang ahli dibidangnya untuk menatap setiap peradaban yang tengah berlaku.


Melupakan atau mengabaikan ini, mungkin lantaran menganggapnya sebagai barang kuno yang harus dimasukkan kedalam museum saja, di zaman modernisasi sekarang ini berarti satu kerugian. Sebab berarti mengabaikan satu partner "yang amat berguna" dalam pembangunan masyarakat dan negara.


Membangun kesejahteraan dengan bertitik tolak pada pembinaan unsur manusia nya, dimulai dengan apa yang ada. Yang ada ialah kekayaan alam dan potensi yang terpendam dalam unsur manusia. Ibarat orang mengaji dia memulai dari alif. Sesudah itu baa, kemudian taa, dan seterusnya. Selangkah demi selangkah - step by step - thabaqan ‘an thabag.


Memulai dengan memanggil potensi yang ada dalam unsur manusia, masyarakat pedesaan itu. Kepada kesadaran akan benih-benih kekuatan yang ada dalam dirinya masing-masing.


Yakni : observasinya yang bisa dipertajam, daya pikirnya yang bisa ditingkatkan, daya gerak nya yang bisa didinamiskan, daya ciptanya yang bisa diperhalus, daya kemauannya yang bisa dibangkitkan.


Mulai dengan menumbuhkan atau mengembalikan kepercayaan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan kemauan untuk melaksanakan idea self help kata orang sekarang sesuai dengan peringatan Ilahi.
"Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala tidak merobah keadan sesuatu kaum, kecuali mereka mau merubah apa-apa yang ada dalam dirinya masing-masing ...."


Cukupkan dari yang ada ...Telapak tangan....
Di sini kita melihat peranan hakiki dari Sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu mengolah dan memelihara alam kurnia Allah untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriyah, dimulai dengan nilai-nilai rohani.


Demikian di antara rangkaian ungkapan Bapak DR. Mohamad Natsir, yang disampaikan di Sumatera Barat pada tahun 1968.
Pemikiran DR. Mohamad Natsir ini, masih relevan hingga sekarang. Pandangan DR. Mohamad Natsir senantiasa berbasis kepada keyakinan tauhid dengan bingkai democrat egaliter dari pemahaman tamaddun budaya di Ranah Minang, “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”.



Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lamu bis-shawaab.

Membuat Umat Jadi Baik

Pesan khuthbah Wada’ Rasulullah SAW
Oleh : H. Mas’oed Abidin

9 Zulhijjah 10 H/ Maret 632 M, seribu empat ratus sepuluh tahun berlalu dalam hitungan almanak qamariyah.
Sebanding dengan seribu tigaratus enam puluh delapan tahun bilangan kalender syamsiyah yang dipopolerkan sejak imperium Bizantium diperintah Yustinianus Akbar (de Groot).
Telah terjadi satu peristiwa sangat penting dalam sejarah kemanusian. Peristiwa itu berlaku dilereng Bukit (Jabal) Rahmah di tengah Padang Arafah.
Dikenal juga sebagai daerah Masy’aril Haram.
Peristiwa amat bersejarah ini berlaku dalam jalinan kuatnya hubungan manusia dengan tuhannya.
Dalam pengamalan aqidah agama Islam disebut Hablum minallah.
Di sisi lainnya sangat berkaitan erat sekali dengan penguatan hubungan manusia dengan sesama manusia, yang dikenal dalam kaidah syariah sebagai Hablum minan-nas.
Peristiwa akbar ini disaksikan oleh hampir 120.000 umat Islam pertama (sabiquunal-awwalun).
Mereka berkumpul dengan seragam yang sama.
Dua potong kain putih melilit badan, tanpa dijahit.
Berpakaian ihram.
Tubuh mereka tengah attafaluu.
Dalam keadaan kusut masai berdebu.
Tanpa pengharum sama sekali.
Karena disibukkan oleh talbiyah dan memohon maghfirah keampunan Allah ‘Azza wa Jalla.
Merebut hajjan mabruran bersama-sama dengan seorang hamba pilihan Rasulullah SAW.
Dalam puncak peristiwa itu, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khuthbah Arafah, yang amat terkenal dengan Khuthbah Wada’ yang berisikan hal-hal mendasar untuk kehidupan umat manusia sepanjang masa. Ketika itu telah ditetapkan prinsip-prinsip Islam secara lengkap.
Dimulai dengan kalimat,
“Wahai manusia, Dengarkanlah perkataanku !
Sesungguhnya saya tidak tahu, barangkali saya tak akan menemui kamu lagi sesudah tahun ini, di tempat ini selama-lamanya.”
Kalimat pembuka dari Nabi ini sudah cukup menyentuh hati umat di kala itu.
Kalimat wasiat terakhir dari seorang yang diikut dan dicintai oleh umatnya.
Utusan Allah yang mulia Muhammad SAW.
Habibullah yang menjadi contoh dan suri teladan.
Uswatun hasanah sepanjang masa.
Di antara Wasiat Arafah di Haji Tamam dimaksud berisikan pokok-pokok ajaran Islam, antara lain ;
1. “Wahai manusia ! Sesungguhnya darah kamu dan harta benda kamu adalah suci bagi kamu. Sampai kamu kelak menghadap tuhan kamu.
Pada suatu hari dan bulan yang sama sucinya dengan hari seperti hari dan bulan sekarang ini.
2. Sesungguhnya kamu akan menghadap Tuhanmu.
Tuhanmu akan menanyakan tentang segala amal-amal kamu.
Sesungguhnya saya telah sampaikan hal itu kepada kamu”.
3. Barang siapa yang menerima amanah hendaklah ditunaikannya amanah tersebut kepada orang yang mempertaruhkan amanah tersebut kepadanya”.
4. Sesungguhnya setiap riba sudah dihapuskan.
Tetapi kamu akan tetap memperoleh modal harta benda kamu.
Jangan kamu berlaku zhalim dan jangan pula bersedia dizalimi oleh orang lain.
Allah telah menetapkan supaya Riba itu tidak ada.
Sesungguhnya Riba dari (paman saya) Abbas bin Abdul Muthalib telah saya hapuskan sama sekali.
5. Sesungguhnya kebiasaan balas membalas, menumpahkan darah sebagai adat kebiasaan dari zaman jahiliyah telah dihapuskan.
Dan dendam darah yang mula pertama saya hapuskan ialah dendam darah dari Rabi’ah bin al Harits yang dibwesarkan ditengah-tengah Bani Laits dan telah dibunuh oleh Huzail.
6. Sesungguhnya kamu mempunyai hak-hak atas istrimu (perempuan kamu).
Hak kamu atas mereka ialah bahwa mereka tidak dibenarkan mendudukkan orang lain diatas tempat tidurmu.
Mereka tidak boleh mengerjakan perbuatan-perbuatan nista.
Jika mereka lakukan perbuatan itu, maka Allah telah mengizinkan kamu untuk memukulnya tanpa mencederai mereka.
Tetapi jika mereka telah menghentikan perbuatan tersebut maka mereka berhak menerima nafkah dan pakaian mereka dengan cara baik.
7. Terimalah wasiat untuk berbuat baik terhadap kaum wanita.
Karena mereka adalah orang yang harus ditolong disiisi kamu.
Mereka tidak memiliki sesuatu dari mereka.
Telah dihalalkan bagi kamu kehormatan kaum isteri kamu dengan kalimat Allah.
Pikirkanlah perkataanku ini wahai manusia !
Sesungguhnya saya telah menyampaikan kepada kamu.
8. Saya tinggalkan kepada kamu dua perpegangan.
Jika kamu berpegang kepada keduanya, niscaya kamu tidak akan pernah tersesat selama-lamanya.
Ingatlah keduanya selalu, yakni Kitabullah (al Quran) dan Sunnahku (Sunah Rasulullah SAW).
9. Wahai manusia, dengarkanlah olehmu perkataanku dan pikirkanlah.
Bahwasanya setiap muslim adalah saudara satu sama lain.
Seluruh orang-orang Islam bersaudara.
10. Tidak halal bagi seorang muslim dari saudaranya kecuali sesuatu yang diberikan kepadanya dengan hati yang suci.
Janganlah kamu menganiaya dirikamu.
Perhatikanlah.
Bukankah aku telah sampaikan kepada kamu ?
Menjawab orang banyak yang hadir ketika itu, “Sudah Yaa Rasulullah”.
Lantas Rasul SAW berkata, “Yaa Allah, saksikanlah !!!”.
Sehubungan Haji Wada’ ini, firman Allah kemudian menyebutkan,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan hari kemenangan dan engkau lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah; maka bertasbihlah engkau dengan pujaan-pujaanmu terhadap Allah Tuhan engkau dan beristiqfarlah akan dia. Sesunggunya Dia Allah maha memberi taubat” (QS. 110, an-Nashru 1-5),

Kekuatan Umat
Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. menjadi satu pameran kekuatan umat dengan ajaran Islam, dibarengi pengukuhan Islam sebagai agama resmi.
Umat Muhammad SAW telah dipilih oleh Allah SWT pada waktu itu, sejak dulu hingga ke akhir zaman, sebagai pemeran jihad fii sabilillah.
Huwa sammakumul Muslimin min qablu, wa fii haddza. Liyakuunar-Rasulu syahidan ‘alaikum. Wa takuunu syuhada’a alan-nas. “Allah telah menamai kamu sekalian Muslimin sejak dahulu, dan juga di dalam Al Quran ini. Supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu. Dan agar kamu menjadi saksi atas semua umat manusia”. (QS.22, al Hajj : 78)
Pengukuhan Islam sebagai satu-satunya agama disisi Allah, amat menumbuhkan kepercayaan diri kaum muslimin, dan memberikan dorongan besar untuk membangun dunia baru dengan hikmah ajaran Islam.
Walaupun tidak berapa lama sesudah Haji Wada’ ini Rasulullah Saw. sudah wafat, diangkat oleh Allah SWT kembali kesamping-Nya, namun jihad Islam tidak pernah mengendur.
Perkembangan Islam menjadi bukti lembaran sejarah peradaban manusia di seluruh belahan bumi.
Di tangan para sahabat generasi pelanjut yang berpegang teguh dengan dua pusaka yang ditinggalkan, ajaran al Qur’an dan Sunnah Rasullullah SAW itu, bukti-bukti sejarah tidak mungkin dihapus.
Pengembangan Agama Islam melebar sangat cepat.
Dalam waktu tidak lebih 90 tahun telah tumbuh masyarakat Muslim.
Telah berdiri negara-negara Islam yang merupakan imperium terbesar di zamannya., yang terbentang dari pinggiran sungai Indus di Timur, ke pantai lautan Atlantik di barat yang meliputi Asia Barat, jazirah Arab, seluruh Afrika Utara dan lautan Mideterinian atau lautan Putih Tengah.
Karunia Allah datang menghampiri umat, sudah tentu berkat kegigihan perjuangan Nabi Muhammad Saw. dan pengikit-pengikut Beliau.
Diringi dengan kearifan diplomasi Rasulullah SAW seperti terlihat nyata dalam perjanjian perdamaian Hadaibiyah, dan lain-lainnya.

Nashrullah dan Fathullah
Melestarikan nasrullah dan fathullah supaya selalu dipunyai oleh umat Muslim sepanjang masa, diperlukan senantiasa membersihkan iman tauhid.
Memurnikan pemahaman akidah didalam keagungan Allah SWT. Menghindari segala anasir-anasir syirik dan kekufuran.
Dengan permohonan I s t i g h f a r yang tak henti-hentinya atas segala tindak tanduk kita.
Tindakan ini merupakan instrospeksi dan ekstrospeksi secara jujur.
Sebagai upaya terus menerus dalam meng-evaluasi perjuangan yang ada dan telah dijalankan.
Istighfar berperan pula memberikan motivasi, dorongan amat bertalasan untuk membuat hari esok lebih baik dan lebih bersih dari hari ini atau lebih bermanfaat dari hari kemarin.
Suatu dorongan amat penting dimiliki dalam membentuk kemandirian (otonomi) dalam arti sebenarnya.
Tasbih, tahmid dan istigfar bagi setiap pejuang, pasti menumbuhkan sifat istiqamah.
Konsisten berada dalam garis Allah di medan juang manapun berada.
Umat Islam di Indonesia yang tengah beradalam dalam kerumunan berbagai pemikiran non Islam seperti Sekularisme, Zionisme, Orientalisme. Kondisi sedemikian sangat memerlukan sikap istiqamah. Agar arus jangan membawa hanyut.
Firman Allah telah memberikan warning (peringatan) antara lain, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan; Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka (istiqamah) menegakan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadanya”.(QS. Fussilat; 30)

Membuat Umat Jadi Baik
Indonesia adalah negara yang berpenduduk muslim yang nomor satu terbanyak di antara negara-negara lain, Mempunyai tanah air yang paling strategis letaknya di persimpangan lalulintas dunia.
Bumi Indonesia merupakan “qith’ah minal jannah fid-dunya”.
Umat Islam di Indonesia dituntut berperanan besar didalam percaturan global, mengemban panggilan masa depan yang gemilang.
Membuat umat jadi baik dan bahagia, Agama Islam memberi petunjuk, “Ada dua kelompok dari umat-ku, kalau keduanya baik Umat seluruhnya menjadi baik, dan kalau ke duanya jahat umat seluruhnya jadi binasa. Mereka ialah Ulama dan ‘Umara”.


Petunjuk Rasulullah juga menyebutkan ; “Apabila Umara dan penguasa-penguasa kamu terdiri dari orang-orang baik, dan Hartawan (ekonom-ekonom) kamu terdiri dari orang-orang pemurah, dan segala persoalan kemasyarakatan kamu pecahkan secara musyawarah atau demokratis, maka hidup di muka bumi tanah airmu sungguh indah dari pada mati berkalang tanah”.

Ungkapan kedua hadits ini menetapkan empat unsur pokok diperklukan menciptakan kehidupan bahagia bagi suatu umat .

1. Ulama yaitu Ulama didunia yang membawa umat keakhirat atau Ulama yang wara’.
2. Umara’ yaitu Umara yang adil.
3. Aghnia atau hartawan yang pemurah.
4. System demokrasi yang murni.

Pangilan zaman masa ini, semangkin nyaring meminta tampilnya ulama pemeran warasatul ambiya’.

Ulama yang menyadari fungsinya dan mau bekerja keras.

Bersungguh-sungguh hati mengungkap khazanah ajaran Islam demi menjawab tantangan zaman menyangkut seluruh segi persoalan hidup dan kehidupan manusia masa kini.

Alim Ulama semestinya menjadi pengawal umat.

Menjaga jangan terjadi perpisahan antara mereka dengan masyarakatnya.

Perpisahan Mengundang Celaka


Perpisahan ulama dengan umat menampilkan akibat sangat pahit bagi Islam.
Sebuah peringatan Rasulullah SAW mesti kita cermati sungguh-sungguh (yang arti bebasnya), “Akan datang suatu masa, di mana umat-ku (kata Rasulullah) lari menjauhkan diri dari alim Ulama dan Fuqaha (para ahli hukum Islam).
Maka dalam keadaan demikian, Allah SWT akan menimpakan kepada mereka tiga bencana, Yaitu,

(a). Dicabutnya oleh Allah berkah dalam rezki mereka.

(b). Akan diperintahi mereka oleh perintah dari pemerintahan yang zhalim.

(c). Mereka (banyak) yang wafat meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman atau kafir.”

Kelangkaan ‘Ulama, merupakan suatu pertanda delatnya suatu bahaya zaman..
Penceramah, muballigh dan da’I yang mengajak umat untuk beragama, tampak bangkit di mana-mana. Kecemasan membayangi didalam kehidupan agama, umat sering menjadi bingung untuk mengamalkannya. Karena itu bila Ulama yang sangat diharapkan menuntun umat tidak ada, kemungkinan besar manusia akan menjadi liar kembali..

Mencermati kondisi ini, maka pesan Rasulullah SAW, perlu kita ingat selalu, bahwa ; “Akan datang suatu masa bagi umat-ku, banyak juru khutbahnya, sedikit alim ulamanya”.

Perkembangan global secara umum di mana-mana umat Islam, terutama generasi mudanya, sedang asyik-asyiknya menggali kembali ajaran agamanya yang murni. Mungkin yang selama ini banyak terabaikan. Sebahagian besar mereka kembali kebasis agama Islam, setelah lama terpesona oleh berbaqai idiologi lain, sehingga menjatuh mereka ke lembah kemunduran dan kehinaan.

Umat Islam di seluruh dunia sekarang ini sudah ingat kembali kepada misi penampilannya di tengah pergaulan hidup Internasional.

Empat belas abad yang lalu disampaikan oleh seorang prajurit Islam Rub’ie bin Amir dikala berhadapan dengan seorang jendral Angkatan Perang Persi, “Tuhan telah menampilkan kami umat Muslimin guna membebaskan dunia dari perbudakan manusia kepada menyembah Allah semata, dari sempitnya dunia (jahilinyah) kepada keluasaan (ilmu pengetahuan), dari kecurangan dan kepalsuan berbagai agama kepada keadilan Islam”.

Dalam kaitan ini, perlu diingat pesan Umar bin Khattab RA. Yang bersemi didalam lubuk hati umat Islam yang paling dalam yang menegaskan ;
“ Kita adalah umat yang telah dibikin berjaya oleh Allah dengan bimbingan agama Islam, kalaulah (satu kali) kita ingin mencapai kejayaan lagi dengan bimbingan selain agama Islam, (sudah pasti) malah kehinaanlah yang akan ditimpakan Allah kepada kita.”.

Demikian satu beban yang perlu dipikul umat ini dalam upaya menciptakan kebaikan dalam arti yang hakiki. Semoga Allah senantiasa melindungi. Amin.

Padang, 9 Zulhijjah