Sabtu, 09 Agustus 2008

DEFINISI SYARI'AH

Pada dasarnya, pemaknaan kata syarii'ah harus dikembalikan kepada waadli'
al-lughah
(pembuat bahasa) kata tersebut, yakni orang Arab.
Sebab, kata al-syarii'ah adalah lafadz bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan makna tertentu.

Pemaknaan atas lafadz tersebut tidak menerima ijtihad atau istinbath, namun
cukup merujuk kepada makna yang disasar oleh orang Arab, sebagaimana kaedah
bahasa menyatakan, "La mahalla li 'aql" (tidak ada tempat bagi akal).
Lalu, apa makna kata "al-syarii'ah?"


Definisi Syarii'ah Menurut Ulama Kamus


Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-'Arab menyatakan:

"Kata al-syarii'ah, al-syarraa', dan al-masyra'ah bermakna al-mawaadli'
allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya dikucurkan air).
Berkata al-Laits, al-syarii'ah dinamakan juga dengan syariat yang
disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba, mulai dari puasa, sholat,
haji, nikah dan sebagainya.
Sedangkan kata al-syir'ah dan al-syir'ah, menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga)
. [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175]


Imam Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan:

"Lafadz al-Syarii'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber
air). Kata al-syarii'ah juga bermakna: agama yang disyariatkan Allah swt
kepada hamba-hambaNya.
Jika dinyatakan Allah telah mensyariatkan kepada mereka, maksudnya adalah sanna (menetapkan aturan untuk mereka).
Lafadz ini termasuk dalam wazan "qatha'a)"…Kata al-syir'ah bisa bermakna al-syarii'ah, sebagaimana firman Allah swt, "Likulli ja'alnaa minkum syir'at wa
minhaajan
".[Untuk setiap umat di antara kamu, Kami jadikan aturan dan jalan yang terang".(TQS Al Maidah (5):48)]
[Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161]


Pengarang Kitab al-'Ain mengatakan:

"al-Syarii'ah wa al-syir'ah: perkara agama yang Allah swt telah menetapkannya, dan memerintahkan untuk selalu berpegang teguh dengannya, seperti sholat, puasa, haji. Dan Allah swt telah mensyariatkan perkara tersebut, maksudnya adalah Allah swt telah menetapkan perkara tersebut secara syar'iy (menurut hukum)".
[Ibnu Saidah, al-Mukhashshash, juz 3, hal. 163]

Al-Shaahib bin 'Ibad, di dalam Kamus al-Muhiith fi al-Lughah menyatakan;

"Syara'a al-waarid syuruu'an: tanaawala al-maa' (memberi air). Kata al-syarii'ah, al-syaraa', al-masyra'ah, dan al-masyru'ah: adalah tempat yang dipersiapkan untuk minum…al-syarii'ah al-syir'atu : urusan agama yang disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba-hambaNya. Dan Dialah yang membuat hukum-hukumnya".
[Al-Shaahib bin 'Ibaad, al-Muhiith fi al-Lughah,juz 1, hal. 44]


Dalam Kamus Bahr al-Muhiith disebutkan;

"Al-syarii'ah: perkara yang disyariatkan oleh Allah swt kepada hamba-hambaNya. Dan bisa juga berarti madzhab-madzhab (rujukan-rujukan) yang jelas dan lurus".[Fairuz Abadiy, al-Qaamuus al-Muhiith, juz 2, hal. 290]


Inilah makna kata "al-syarii'ah" menurut ulama-ulama ahli bahasa Arab.


Makna Syarii'at Menurut Ulama Tafsir

Makna syarii'at menurut ulama tafsir, tidak jauh berbeda dengan makna yang dipahami oleh ulama ahli bahasa Arab.
Ketika menafsirkan firman Allah swt, surat al-Maidah ayat 48, Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menjelaskan:

"Kata al-syir'ah dan al-syarii'ah bermakna jalan terang yang mengantarkan pada keselamatan.
Menurut bahasa, kata al-syarii'ah, bermakna al-thariiq alladziy yatawashshalu minhu ila al-maa` (jalan yang mengantarkan kepada air).
Lafadz al-syarii'ah juga bermakna agama yang disyariatkan (ditetapkan) Allah kepada hamba-hambaNya; dan Allah telah mensyariatkan (kepada mereka), maksudnya adalah mensyariatkan (menetapkan) syariat atau jalan.
Kata al-syaari` bermakna al-thariiq al-a'dzam (jalan besar)….
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah menetapkan Taurat kepada pemeluknya, Injil kepada pemeluknya, al-Quran kepada pemeluknya.
Ayat ini berbicara pada konteks syariat-syariat (hukum-hukum) dan ibadah-ibadah. Sedangkan pokok ketauhidan tidak ada perbedaan.
Makna semacam ini dituturkan dari Qatadah.


Mujahid berkata,
"Kata al-syir'ah dan al-minhaaj maknanya adalah agama (diin) Muhammad saw, dan ia telah menasakh (menghapus) seluruh agama lain." [Imam Qurthubiy],


Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsiir al-Quran al-'Adziim mengungkapkan:

"Kata al-syir'ah juga bermakna al-syarii'ah; yakni sesuatu yang membuka ke sesuatu. Dari sini dinyatakan, "syara'a fi kadza" (mensyariatkan yang demikian); sedangkan maknanya adalah ibtada`a fiihi (memulai, atau membuka jalan pertama kali).
Demikian juga al-syarii'ah, ia bermakna "ma yasyra'u minhaa ila al-maa`" (jalan yang mengantarkan menuju air)".
Adapun kata "al-minhaaj" adalah al-thariiq al-waadliih al-sahl (jalan yang jelas dan
mudah). Kata al-sunan, maknanya adalah al-tharaaiq (jalan-jalan).
Oleh karena itu, menafsirkan firman Allah swt "syir'atan wa minhajan" dengan jalan dan sunnah jelas lebih sesuai dari sebaliknya. Wallahu a'lam".
[Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Ibnu Katsiir,]

Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan;

"Pada asalnya, kata al-syir'ah dan al-syarii'ah bermakna jalan terang yang bisa mencapai air. Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama (diin)yang disyariatkan Allah swt kepada hambaNya. Sedangkan kata al-minhaaj: jalan terang dan jelas.
Abu al-'Abbas Muhammad bin Yazid al-Mubarrad,
"Kata al-syarii'ah bermakna ibtidaa' al-thariiq (permulaan jalan), sedangkan
al-minhaaj bermakna jalan yang berulang-ulang (al-thariiq al-mustamirah).
Makna ayat ini [surat al-Maidah :48] adalah; sesungguhnya Allah swt menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan al-Quran untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat terdahulu oleh al-Quran.
Adapun setelah turunnya al-Quran, maka tidak ada syir'ah dan minhaaj, kecuali yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
".
[Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 319]


Kata Syarii'ah Menurut 'Urf Para Ulama

Pada konteks awalnya (hakekat lughawiyyah) kata "syarii'ah bermakna "al-thariiqah al-dzaahirah allatiy yatawashshalu bihaa ila al-maa" (jalan terang yang bisa mencapai air).
Selanjutnya kata "al-syarii'ah" digunakan oleh para pengguna bahasa Arab dengan makna "urusan agama yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya".
Mereka juga memaknai kata syarii'ah sebatas pada aturan-aturan agama yang bersifat 'amaliyyah (praktis), bukan i'tiqaadiyyah (keyakinan).

Imam Thabariy telah menuturkan pemahaman semacam ini di dalam riwayat-riwayat shahih.

"Telah meriwayatkan kepada kami, Basyar bin Mu'adz, bahwasanya ia berkata,
"Telah meriwayatkan kepada kami Yazid, ia berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami Sa'iid, dari Qatadah mengenai firman Allah swt "Likulli ja'alnaa minkum syir'ah wa minhajan", ia berkata, "Maksudnya adalah jalan dan sunnah. Sedangkan jalan-jalan itu sangat beragam. Taurat memiliki syariat tersendiri, Injil memiliki syariat tersendiri, dan al-Quran juga memiliki syariat sendiri.
Di dalamnya, Allah menghalalkan apa yang Dia kehendaki dan mengharamkan apa yang Dia kehendaki, untuk mengetahui siapa yang mentaatiNya dan siapa yang membangkang kepadaNya.
Hanya saja diin (pokok keyakinan) tetaplah satu dan tidak menerima keyakinan yang lain; yakni al-tauhid (pengesaan Allah) dan ikhlash beramal semata-mata untuk Allah swt, yang mana prinsip tauhid dan ikhlash ini diturunkan kepada para Rasul."


"Telah meriwayatkan kepada kami al-Hasan bin Yahya, bahwasanya ia berkata, "Telah mengabarkan kepada kami 'Abd al-Razaq, bahwasanya ia berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami Ma'mar , dari Qatadah mengenai firman Allah swt "likulli ja'alnaa minkum syir'atan wa minhaajan", ia berkata, "Diin itu satu sedangkan syariat (hukum) itu beragam".[Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 10, hal. 385]


Imam Ibnu Katsir menyatakan;

"Ayat ini merupakan ikhbar (berita) mengenai umat-umat yang memiliki agama beragam, yakni syariat yang sangat beragam dalam masalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasul-rasulNya yang mulia, namun berkesesuaian dalam masalah tauhid.

Sebagaimana ditetapkan di dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Kami para Nabi adalah bersaudara, diin (keyakinan) kami satu".
[HR. Imam Bukhari]

Maksudnya adalah tauhid yang disampaikan Allah kepada semua Rasul yang diutusNya, dan
dicantumkan di semua Kitab yang diturunkanNya. Sebagaimana disebut di dalam firman Allah swt, " Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".[Al-Anbiyaa':25],
dan juga firman Allah swt,
" Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)".[An Nahl: 36].

Adapun dalam masalah syariat, maka perintah dan larangannya berbeda-beda.
Kadang-kadang, ada sesuatu yang di dalam syariat ini haram, kemudian Allah menghalalkannya di syariat yang lain, dan begitu pula sebaliknya.
Kadang-kadang, ada sesuatu yang di dalam syariat ini, ringan, kemudian
diperberat pada syariat yang lain."

[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3, hal. 129]


Kesimpulan

Keterangan di atas menunjukkan bahwa, kata "syarii'ah" pada konteks awalnya (literal) digunakan dengan makna al-thariiqah al-dzaahirah allatiy
yatawashshalu bihaa ila al-maa" (jalan terang yang bisa mencapai air).

Selanjutnya kata "al-syarii'ah" digunakan oleh para pengguna bahasa Arab
dengan makna "diin (agama) yang disyari'atkan Allah swt kepada hambaNya" dan
dipersempit pada aturan-aturan agama yang mengatur amal perbuatan manusia,
bukan keyakinan.
Oleh karena itu, para ulama membedakan keyakinan dengan perbuatan.

Masalah keyakinan diinsersikan dalam 'aqidah, sedangkan perbuatan dimasukkan dalam syariat.


Dari sinilah, kaum Muslim mengenal istilah "aqiidah" (keyakinan) dan "syarii'ah"(ketentuan yang mengatur perbuatan manusia).

Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam; 'Aqiidah wa Syarii'ah menyatakan:

Syarii'ah adalah aturan-aturan (system) yang Allah telah mensyariatkannya, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non
Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan"
.[Syaikh Mahmud Syaltut, al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12]


Dengan demikian, kata syari'ah selalu berkonotasi hukum, atau aturan yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, manusia lain, dan dirinya sendiri.

Kumpulan dari aturan-aturan tersebut melahirkan sebuah sistem hidup yang unik dan khas. Jika seluruh interaksi tersebut diatur dengan aturan Islam (hukum Islam), niscaya akan terwujud sistem Islam.

Sebaliknya, jika seluruh interaksi tersebut diatur dengan aturan kufur, tentunya akan
terbentuk sistem kufur.

Kata syarii'ah tidak memiliki makna selain dari makna yang digunakan oleh 'urf pengguna bahasa Arab, yakni hukum Allah yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan orang lain. Dengan kata lain, kata "syarii'ah" selalu berkonotasi hukum Allah yang ditetapkan untuk mengatur seluruh interaksi manusia di kehidupan dunia.

Makna semacam ini secara eksplisit disebutkan di dalam al-Quran.
Allah swt berfirman;
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya
kepadamu
.."[TQS Al Maidah (5): 48]


Di dalam hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Rasullah saw menggunakan
kata syarii'ah dengan makna hukum. Rasulullah saw bersabda;

"Umat akan selalu berada di atas syarii'ah, selama di tengah-tengah mereka belum tampak tiga perkara.
Selama ilmu belum dicabut dari mereka, dan selama di tengah-tengah mereka belum banyak anak banci, serta belum tampak di tengah-tengah mereka al-shaqqaaruun
".

Para shahabat bertanya,

"Ya Rasulullah, apa al-shaqqaaruun atau al-shaqqlaawuun itu?" Rasulullah saw menjawab, "Manusia yang ada di akhir zaman, yang mana, ucapan selamat
diantara mereka adalah saling melaknat
".[HR. Imam Ahmad]


Atas dasar itu, statement yang menyatakan bahwa kata syariat di dalam
al-Quran dan Sunnah tidak ekplisit bermakna "hukum atau aturan", jelas-jelas
statement yang tidak didukung oleh hujjah yang lurus dan selamat.

Pasalnya, seluruh ahli bahasa Arab serta ulama-ulama tafsir menggunakan kata syarii'ah dengan makna hukum atau aturan yang mengatur perbuatan manusia, tidak dengan makna lain.

Kata syariiat sama sekali tidak bermakna "perealisasian mashlahat".
Makna semacam ini tidak pernah digunakan oleh para pengguna bahasa Arab dan tidak
pernah dikemukakan oleh ulama-ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.

Pendefinisian syarii'at dengan makna semacam ini jelas-jelas keliru dan menyesatkan.


Maqaashid al-Syar'iyyah Bukanlah Sumber Hukum Syariat

Pada dasarnya, syariat Islam diturunkan di muka bumi untuk menciptakan
rahmat dan kemashlahatan di tengah-tengah mereka. Allah swt berfirman;

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh penjuru alam".[TQS Al Anbiyaa' (21):107]


Frase "wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamin" menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa rahmat bagi penjuru alam itu dinisbahkan kepada syari'at yang dibawa oleh Muhammad saw.

Namun, rahmat pada ayat itu hanyalah hasil (natijah) dari penerapan syari'at Islam, bukan sebagai "sebab" ('illat) pensyari'atan hukum Islam. Oleh karena itu, tidak boleh dipahami bahwa hukum syariat itu ditetapkan berdasarkan mashlahat.

Pasalnya mashlahat bukanlah dalil hukum maupun 'illat pensyari'atan sebuah hukum.


Selain itu, ayat di atas tidak mengandung 'illat sama sekali.
Rahmat pada ayat ini bukanlah 'illat disyari'atkannya hukum Islam, sehingga dinyatakan bahwa hukum syariat itu beredar mengikuti 'illatnya (kemashlahatan).

Jika suatu hukum syariat dianggap tidak mashlahat, maka hukum itu bisa dianulir.
Sebaliknya, sesuatu yang diharamkan oleh syariat, bisa saja dianggap sebagai
sesuatu yang masyr'u jika di dalamnya ada kemashlahatan.

Kesimpulan semacam ini jelas-jelas menyimpang dari membuka ruang yang sangat lebar munculnya aktivitas "mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah swt" dengan alasan mashlahat.

Padahal Allah swt mencela perbuatan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah swt, dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah swt.


"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan
."[TQS At Taubah (9):31]


Orang Yahudi dan Nashrani dikatakan menyembah kepada pendeta dan rahib mereka, dikarenakan pendeta dan rahib mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan mereka tetap mengikutipara pendeta dan rahib tersebut.

Selain itu, misi dan visi Nabi Muhammad saw di muka bumi ini, selain menyebarkan kalimat Tauhid, juga mengatur manusia dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Allah swt berfirman;

"dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.
Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik
".[TQS Al Maidah (5):49], dan ayat-ayat lain yang memiliki pengertian senada.


Ayat ini dengan sharih menyatakan agar Nabi Muhammad saw mengatur seluruh urusan manusia dengan aturan Allah, bukan dengan hawa nafsu (keinginan) manusia.
Bahkan, Allah swt telah memperingatkan beliau untuk tidak berpaling dari hukum-hukum Allah swt karena mengikuti keinginan-keinginan manusia.

Pasalnya, hukum Allah swt adalah hukum yang paling sempurna dan baik.

Oleh karena itu, syariat Islam (hukum Allah) tidak ditetapkan berdasarkan mashlahat. Sesungguhnya, hukum syariat itu ditetapkan berdasarkan nash-nash syariah, bukan berdasarkan kemashlahatan menurut manusia.


Seandainya hukum syariat ditetapkan berdasarkan mashlahat, niscaya akan lahir dua hukum kontradiktif dalam satu kasus. Bisa saja menurut sekelompok orang hukum ini membawa mashlahat, sedangkan yang lain justru menganggap sebaliknya –menimbulkan mafsadat (kerusakan).

Suatu perbuatan bisa saja diharamkan oleh sekelompok orang karena dianggap mafsadat, namun oleh kelompok yang lain justru dihalalkan karena adanya mashlahat.

Oleh karena itu, hukum syariat tidak boleh ditetapkan berdasarkan mashlahat.

Penetapan hukum hanyalah hak prerogatif dari Allah swt, bukan menjadi hak manusia.
Allah swt berfirman;
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al
Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk
menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia Pemberi keputusan yang paling baik
".[TQS Al An'aam (6):57]

Allahlah Dzat yang menciptakan manusia, paling mengetahui kecenderungan, dan memahami apa yang paling baik dan adil bagi manusia.

Hukum yang telah ditetapkan Allah swt tidak boleh diubah alasan mashlahat.
Sesuatu yang diharamkan Allah tidak boleh dihalalkan karena dipandang ada kemashlahatan di sana.

Sebaliknya, perkara yang telah dihalalkan Allah, tidak boleh diharamkan karena dianggap membawa mafsadat.


Selain itu, apa yang dianggap mashlahat oleh manusia belum tentu mashlahat
oleh Allah. Allah swt berfirman;

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui
".[TQS Al Baqarah (2):216]


"Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".[TQS An Nisaa' (4):19]


Kemashlahatan Bukanlah 'Illat Pensyariatan Hukum Islam

'Illat adalah maqshud al-syaari' min syar'i al-hukm (maksud dari Pembuat syariat ketika mensyariatkan sebuah hukum).


Pada dasarnya, jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat (mengambil mashlahat dan meninggalkan mafsadat) bukanlah 'illat bagi hukum-hukum syara', dan juga bukan dalil bagi hukum syara'.

Jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat juga bukan 'illat bagi syari'at Islam secara menyeluruh.

Adapun nash yang dijadikan dalil bahwa 'illat untuk seluruh syari'at Islam
adalah jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat, sesungguhnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat merupakan 'illat hukum, akan tetapi hanya menunjukkan hikmah diturunkan dan diterapkannya syari'at Islam.

Firman Allah swt "Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamin", sangat jelas ditunjukkan di sini, bahwa rahmat bagi
penjuru alam tersebut dinisbahkan kepada syari'at yang dibawa oleh Muhammad saw, bukan dinisbahkan kepada penetapan hukum-hukum yang bersifat rinci.

Dengan kata lain, rahmat pada ayat itu hanyalah hasil (natijah) dari penerapan syari'at, bukan sebagai "sebab" ('illat) bagi pensyari'atan hukum Islam.

Sebab, ayat ini tidak mengandung 'illat sama sekali.
Karena tidak mengandung 'illat, maka ayat ini tidak boleh dita'lilkan.


Oleh karena itu, statement yang menyatakan bahwa "ada tidak adanya hukum syariat tergantung pada ada tidaknya mashlahat", jelas-jelas salah dan keliru.
Pasalnya, mashlahat bukanlah 'illat pensyariatan hukum Islam, akan tetapi ia hanyalah natijah (hasil) yang akan didapat manusia tatkala menerapkan syariat Islam.

Contohnya, Allah swt dan RasulNya telah menetapkan larangan bagi wanita memegang tampuk kekuasaan negara, hukuman mati bagi orang murtad, larangan mengkonsumsi riba, kewajiban sholat, puasa, haji, jihad, dan lain sebagainya.

Hukum-hukum semacam ini tidak akan berubah, dan tidak boleh diubah dengan alasan tidak lagi mashlahat.

Sungguh tercelalah orang yang membolehkan riba dengan alasan mashlahat, menghapus kewajiban sholat, jihad, puasa, zakat, dan lain sebagainya karena sudah tidak dianggap membawa mashlahat.



KESIMPULAN

Kata "syarii'ah Islam" selalu mengandung konotasi hukum atau aturan Islam.
Pasalnya kata ini memiliki hakekat 'urfiyyah, sehingga pemaknaannya harus sejalan dengan 'urf (kebiasaan) pengguna bahasa Arab, yakni, aturan yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya untuk mengatur amal perbuatannya.

Pada dasarnya, syariat Islam bila diterapkan secara kamil, syamil, dan mutakamil akan membawa mashlahat bagi umat manusia.

Kemashlahatan datang ketika hukum Islam diterapkan, bukan sebaliknya, penetapan dan penerapan huum Islam tergantung ada tidaknya kemashahatan.

Kemashlahatan bukanlah 'illat pensyariatan hukum Islam, baik secara parsial maupun menyeluruh.

Pasalnya, tidak ada satupun dalil yang mendasari perkara ini.

Jika ada sebagian pihak berusaha menyodorkan dalil, sesungguhnya dalil-dalil tersebut tidak mengandung 'illat, namun hanyalah natijah atau hikmah hukum.

Sholat misalnya, jika dilaksanakan dengan benar bisa mencegah seseorang dari kekejian dan kemungkaran. Namun mencegah kekejian dan kemungkaran bukanlah 'illat pensyariatan sholat.

Seandainya 'illah pensyariatan sholat adalah "mencegah kekejian dan kemungkaran", tentunya jika seseorang telah mampu mencegah dirinya dari tindak keji dan mungkar,
niscaya ia tidak perlu lagi sholat.

Sebab, al-'illatu taduuru ma'a ma'luul wujuudan wa 'adaman ('illat itu beredar dengan ada atau tidak adanya yang di'illati).

Wallahu A'lam bi al-Shawab

Bagaimana seharusnya menyambut Syakban dari tulisan Abdullah bin Baz

HUKUM UPACARA PERINGATAN MALAM NISFI SYA'BAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya
bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan
salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
shalallahu 'alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa
rahmat.

Amma ba'du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu." [Al-Maidah :3]

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah?
Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah
mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu
akan memperoleh adzab yang pedih." [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu
perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia
tertolak."

Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak
kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi
pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik-
baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dan
sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan
setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal
mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah
menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-
Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian
risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat
Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan
segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia
sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan
maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya
baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari
perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu
disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan
pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu
Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah
mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan
pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun
dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang
fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga
tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan
dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'.

Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang
lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan
fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami
sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di
antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif"
mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan
hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah
bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits
shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar
hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-
hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil
pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya
menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu
keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia
kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja
yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu
daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan
keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah
yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan
apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa':

"Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika
kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya." [An-Nisaa': 59]

"Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya
(terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah
Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali."
[Asy-Syuraa: 10]

"Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
sepenuhnya." [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat-
ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan
agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan
kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap
hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik
bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat
nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam
bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli
Syam (Syiria,
sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya
pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam
Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan
pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya
cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru
dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan
menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima
adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya
adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha'
dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam
dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya.
Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat
ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan
berjamah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam
tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar
menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul
lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata:
"Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak
bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk
shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh
jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat
Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka.
Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran,
sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban
ini,tidak diketahui."

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu
Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam
hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat
bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak
disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad
shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain
berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin
Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu
pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya
atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan
dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh
Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam
Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat.
Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan
shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh
Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena
segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil
syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-
adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun
kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-
terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami
perintahkan, maka ia tertolak."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan
memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal
Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami
belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang
menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits
Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam
tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah
bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah)
pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah
menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada
tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.

Al-'Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah,
sebagai berikut: Hadits:

"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban
sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul
Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala
kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu', pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang
pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan
kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak
dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga,
kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang
menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam
Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya,
adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat
dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh
kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi
mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam
Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat
dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'.
Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu'
(tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti
pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin.
Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu
Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya
adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits
Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pergi ke Baqi' dan
Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni
dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya
perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi
hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana
hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban,
jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat
Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat
yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas
raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at
pertama
bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua
shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya
oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku
Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits
tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat
mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits,
yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran
untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti
salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah
mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil)
kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama
pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam
buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat
para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu,
akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita
sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk
mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa
hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran
(haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat
atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua
adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat
ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam
setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu 'anhu. Marilah kita
hayati ayat Al-Qur'an di bawah:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai
agama bagimu."[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas.
Selanjutnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang
sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah pernah
bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada
malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian
mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya,
kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara
kamu." [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu
dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik
daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik
hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.

Tatkala Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang untuk
mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal
itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh
dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang
mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam
Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya
shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi
mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya
melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

"Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan
dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan
mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri
(melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman
dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah
lewat." [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan
Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan
upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya
sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan
oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak
memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya
tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat
tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada
bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua
malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu
pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama
halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam
Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah-
ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah
tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual,
berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana
sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang
menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat.
Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27
Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka
benar orang yang mengatakan;

"Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para
salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam
agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah."

Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada
kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh
dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal
yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan
termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan
Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas
keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid'ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah
Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa
Al-Irsyad, 1413 H]

Rabu, 06 Agustus 2008

Menghitung Kecepatan Malaikat

MENGHITUNG KECEPATAN TERBANG MALAIKAT DAN JIBRIL

Oct 10, '07 9:55 PM
for everyone

Ahli Fisika dari Mesir bernama DR. Mansour Hassab El Naby berhasil
membuktikan berdasarkan petunjuk Al Qur an (QS As Sajdah:5) kecepatan
cahaya dapat dihitung dengan tepat sama dengan hasil pengukuran secara
ilmu fisika modern (A New Astronomical Quranic Method for The
Determination of The Greatest Speed C,
http://www.islamicity.org/Science/960703A.HTM ).

Berdasarkan QS As Sajdah ayat 5: Dia mengatur urusan dari langit ke
bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang
kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu[1190]

Secara jelas ayat tersebut memakai perbandingan bahwa satu hari sama
dengan 1.000 tahun, dihitung dengan cermat ternyata sama dengan
kecepatan cahaya. Pertanyaannya kemudian, petunjuk ayat ini apakah
sebagai penjelas atas petunjuk ayat dalam Al Qur an yang lain? Apakah
kecepatan cahaya merupakan yang paling cepat di jagad raya ini seperti
dugaan manusia sekarang berdasarkan ilmu fisika modern?

Dari beberapa ayat di dalam Al Qur an disebutan bahwa malaikat
mempunyai kecepatan terbang yang sangat cepat. Seperti dalam QS An
NaaziŽaat ayat 3-4

3. dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat
4. dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang


Juga pada QS Al Mursalat ayat 1-2 dijelaskan bahwa malaikat terbang
dengan kencang atau cepat:

1. Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan,
2. dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan kencangnya [1537],

Bagaimana malaikat terbang? Malaikat dapat terbang karena memiliki
sayap, ada yang mempunyai 2, 3 atau 4 sayap. Disebutkan pada QS
Faathir ayat 1:

Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.
Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari penjelasan tersebut dapat lebih jelas bahwa yang mampu terbang
dengan kecepatan tinggi adalah malaikat. Seberapa cepat terbangnya?
Apakah sama dengan kecepatan cahaya atau berapa kalinya? Dalam QS Al M
aŽaarij ayat 4 secara jelas disebutkan:

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam
sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.[1510]

Petunjuk dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa perbandingan kecepatan
terbang malaikat adalah dalam sehari kadarnya 50.000 tahun.
Berdasarkan metode penghitungan yang dilakukan DR. Mansour Hassab El
Naby seperti dalam tulisannya bahwa untuk satu hari yang berkadar
1.000 tahun sama dengan kecepatan cahaya (299.792,4989 km/detik).
Berdasar rumus-rumus dan cara yang sama untuk perbandingan sehari sama
dengan 50.000 tahun dapat diperoleh hasil perhitungan sama dengan 50
kali kecepatan cahaya (14.989.624,9442 km/detik). Kesimpulannya adalah
berdasarkan informasi dari Al Qur an dapat dihitung kecepatan terbang
malaikat dan Jibril yaitu 50 kali kecepatan cahaya! Masya Allah!

Sampai saat ini pengetahuan manusia belum menemukan sesuatu pun yang
mempunyai kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Berdasarkan petunjuk Al
Qur an sangat jelas disebutkan bahwa malaikat dan Jibril mempunyai
kemampuan terbang 50 kali kecepatan cahaya. Hal tersebut bisa
dimaklumi karena penciptaan malaikat berasal dari unsur cahaya (nuur).
Suatu saat diharapkan ilmuwan muslim dapat meneliti petunjuk tersebut
dan menjadi penemu yang selangkah lebih maju karena berdasarkan Al
Qur an, kitab suci yang merupakan satu-satunya kitab yang eksak,
berisi kepastian karena merupakan Firman Allah SWT.

Maha benar Allah dengan segala Firman-Nya.

Sragen, 28 Ramadhan 1428 H

L.Farid


Catatan kaki:



[1190]. Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya.
[1537]. Maksudnya: terbang untuk melaksanakan perintah Tuhannya.
[1510]. Maksudnya: malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari. Apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu limapuluh ribu tahun.


Referensi:


Al Quran Digital,
http://www.alquran-digital.com

Elnaby, M.H., 1990, A New Astronomical Quranic Method for The
Determination of The Greatest Speed C,
http://www.islamicity.org/Science/960703A.HTM

NB: Untuk memahami metode penghitungan DR. Mansour Hassab El Naby,
terlampir file presentasi (ppt) dalam bahasa Indonesia. Silahkan
download dengan klik: Kecepatan Cahaya Menurut Al Qur_an.ppt

http://elfarid.multiply.com/journal/item/276

Selasa, 05 Agustus 2008

Israk Mikraj dan Iptek, Ditulis dalam Kompas, 26 Agustus 2008

Tabir Isra Miraj berdasarkan science

Sebagai rumusan dasar dalam ilmu sains, rumusan Newton, F= m.a,
memberikan pengaruh dan kegunaan yang cukup besar. Kehadiran rumusan
hukum kekekalan energi dan momentum, misalnya, tidak lain
dikembangkan dari rumus dasar Newton. Berdasarkan rumusan Newton pula
maka berkembang ilmu optika klasik, mekanika, dan mesin-mesin. Buah
dari karya besar Newton itu antara lain termanifestasi dalam
peradaban mesin-mesin industri. Sir Issac Newton dapat diakui sebagai
ilmuwan besar abad 17 hingga abad 20.

Akan tetapi, dengan berawal dari ketidakpuasan para ilmuwan terhadap
rumusan Newton untuk menjelaskan dinamika elektron-struktur atomik-
maka berkembanglah teori baru. Berawal dari tesis Albert Einstein
melalui rumusan E= mc2, lebih lanjut menjadi arahan bagi para ilmuwan
untuk dapat memodelkan dinamika elektron dengan lebih tepat. Dari
rumusan Einstein, ternyata terbukti bahwa rumusan Newton pada
dasarnya merupakan pendekatan dari rumusan E=mc2. Hal ini terjadi
karena dinamika gerak partikel masif adalah << (baca: jauh lebih
kecil dari) kecepatan cahaya, c. Dengan kata lain, rumusan F=m.a
adalah pendekatan dari E=mc2. Namun, kehadiran rumusan Einstein tidak
secara otomatis meniadakan hukum-hukum yang dikembangkan berdasarkan
Newton.

Seiring dengan pembuktian Einstein dan kawan-kawan dalam bidang
fisika ini, maka berkembanglah cabang ilmu Fisika Kuantum. Dari
namanya kuantum diambil dari kuanta-energi yang dipancarkan oleh
loncatan elektron. Lebih lanjut, Scrodinger berhasil memberikan
rumusan peluang elektron untuk dapat melakukan terobosan pada suatu
dinding penghalang. Lebih lanjut, kuantum ini dimodelkan melalui
sumur-sumur kuantum. Pada sumur itu digambarkan elektron yang hendak
menembus dinding sumur pembatas dengan probabilitas tertentu.

Telepati dan teleportasi

Jika 14 abad yang lalu umat Islam meyakini peristiwa Isra' Mi'raj
Nabi Muhammad, maka teori kuantum memberikan arahan yang berarti
untuk menjelaskan fenomena aneh itu. Bahkan untuk fenomena telepati,
sihir, pengobatan jarak jauh, dan teleportasi.

Meditasi Anand Krisna, misalnya, jika kita perhatikan tidak lain
mengikuti konsep kuantum. Dengan melakukan penenangan batin serta
diikuti ritme goyangan tubuh berirama, seseorang akan mengalami
"kepuasan" tertentu. Teknik ini juga sering dilakukan pada
penyembuhan alternatif dengan menggunakan energi prana, chi. Jika
kita melihat sebentar pada pondok-pondok salaf, kita perhatikan para
santri yang berzikir sambil goyang kepala. Juga dikisahkan, para
waliullah dan kiai dapat terbang dengan kecepatan kilat.

Apa sesungguhnya yang sedang terjadi? Di manakah kuantum itu terjadi?
Teori kuantum menjelaskan fenomena loncatan elektron (kuanta-kuanta
energi) suatu partikel yang mengalami eksitasi, yang diakibatkan oleh
pengaruh getaran, pemanasan, atau pemancaran. Efek fotolistrik dan
Compton menjelaskan hal ini. Pada kasus logam yang dipanasi, ia dapat
memancarkan elektron. Logam yang disinari, terjadi kuantum. Hal ini
menyebabkan perubahan struktur atomik suatu partikel tertentu.
Perubahan itu melibatkan pemindahan elektron yang sekaligus
memancarkan energi foton. Pendek kata, fenomena di atas terjadi
karena transfer energi elektromagnetik.

Richard Feyman, ilmuwan Amerika Serikat yang berhasil memenangkan
Nobel Fisika atas temuannya, membuktikan bahwa suatu partikel masih
dapat dipindahkan menembus batas dinding partikel tanpa mengalami
kerusakan. Pada kesempatan yang lain, Dr Ivan Geiver (pemenang Nobel
Fisika) dari Amerika juga semakin menguatkan khazanah ilmu kuantum
ini.

Temuan Feyman dan Geiver ini memberikan pengertian kepada kita bahwa
teleportasi-perpindahan fisik seseorang yang menembus ruang pembatas-
adalah rasional. Begitu pula dengan Isra' Mi'raj. Jika seseorang
sudah dapat melakukan suatu perlakuan khusus terhadap dirinya sampai
batas energi ambang, maka orang tersebut memungkinkan mengalami
derajat emanasi, eksitasi, atau kuantum. Sama persis dengan energi
ambang yang dibutuhkan suatu logam untuk dapat melakukan kuantum.

Manifestasi dari kuantum ini adalah memungkinkan seseorang ini
mengirimkan sinyal jarak jauh, sinyal yang berupa medan
elektromagnetik. Jika dapat mengubah partikel diri seolah menjadi
susunan-susunan elektron yang tereksitasi, maka terjadilah loncatan
secepat cahaya. Maka, tukar informasi-telepati-terjadi. Lihat juga
peristiwa kirim energi melalui televisi pada acara mingguan Dedy
Corbuzier. Jika kejadian ini sampai melibatkan pemindahan fisik
tubuhnya, maka orang ini mencapai derajat teleportasi.

Dari sudut pandang teori kuantum ini maka jelaslah bahwa tabir Isra'
Mi'raj, telepati, teleportasi; sudah mendapatkan penjelasan fisik.
Artinya, sebagian besar orang yang tidak mengakui fenomena ini-karena
alasan tidak ada bukti fisiknya-dewasa ini sudah terbantahkan. Hal
yang dulu dianggap metafisika dan gaib, berdasarkan teori kuantum
telah mendapatkan pembenaran fisik. Senada dengan teori kuantum, maka
teknik goyang ritmis berirama pada ritual meditasi, zikir, serta
pengobatan alternatif.

Teknik goyangan tubuh berirama pada dasarnya merupakan cara untuk
memicu eksitasi eletron tubuh kita agar dapat memancarkan gelombang
cahaya dengan frekuensi tertentu. Jika teknik goyangan ini cukup kuat
dan kontinu sampai derajad energi ambang terlampui.

Dari sudut pandang ilmiah, maka kita semakin meyakini bahwa ilmu-ilmu
fisik (fisika) dewasa ini sudah menyatu dengan dimensi gaib dan
spiritualitas. Jika kita sempat membaca tulisan Frictof Capra pada
bukunya Titik Balik Peradaban, terang sudah bahwasanya khazanah ilmu
barat dan timur dewasa ini sudah dalam tahap penyatuan. Khazanah
barat yang unggul dalam riset, eksperimentasi, dan rasionalitas;
serta timur yang lebih dominan dalam aspek spiritualitas.

Oleh karena itu, era pasca-Einstein telah menjadi pembuka tabir
penyatuan paradigma timur dan barat. Dan, kuantum adalah laksana
jembatan antara peradaban timur dan barat. Kuantum yang secara
empiris ditemukan pada abad 20, maka di dunia timur sudah mengakar
cukup kuat sejak peradaban Cina Kuno dan India Kuno, 25 abad yang
lalu. Dunia timur mengenal hukum paradoks lebih awal. Kita tahu,
salah satu hukum dalam teori kuantum adalah hukum paradoks.

Dimuat diharian Kompas,26, Agustus 2002
oleh Edi Suparno Direktur CORE'S Nusantara