Menurut Mohammad Natsir
Menciptakan Masyarakat Tamaddun
Pengantar Redaksi:
Membicarakan dan mengenang Mohammad Natsir jelas tidak akan pernah lengkap, karena begitu saratnya khasanah "peninggalan" beliau dalam segala segi, baik agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, keteladanan, pemikiran, bahkan filsafat. Kali ini Fajar mengangkat salah satu "sudut kecil dari auditorium besar" peninggalan beliau.
Berikut hasil wawancara reporter Fajar dengan H. Mas'oed Abidin, salah satu kader beliau yang banyak mengikuti jejak langkah dan pemikiran beliau, bahkan sampai beberapa saat sebelum beliau menghadap ilahi di akhir hayat. Wawancara eksklusif ini ditulis kembali oleh Tamrin Kiram dan Kimpul.
Salah satu tema menarik saat ini adalah upaya menciptakan masyarakat tamaddun (beradab). Konsep pemikiran ini merupakan antitesis terhadap degradasi moral yang dibawa oleh peradaban Barat.Konsep ini mulai difikirkan dan dirancang oleh beberapa politisi dunia, khususnya yang ada di Malaysia dan beberapa negara lain yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam.
Masyarakat tamaddun merupakan sebuah masyarakat integratif antara kondisi masyarakat yang ada, baik secara sosial, politik maupun ekonomi dengan problematika sosial dan pribadi yang ada di dalamnya. Ini sejalan dengan salah satu konsepsi Mohammad Natsir yang telah dirancang sejak tahun 1930‑an yang lalu, dan menjadi perwujudan pada masa kini.
Dari Kesehatan sampai Mengatasi Adh'aful Iman
Berawal dari konsepsi tentang kesehatan. Mohammad Natsir membagi kesehatan atas empat bahagian. Pertama, kesehatan fisik. Kedua, kesehatan jiwa. Ketiga, kesehatan ide (pemikiran), dan keempat, kesehatan sosial masyarakat disekitarnya. Keempat kesehatan tersebut berada dalam ruang lingkup yang sama (integratif) yang memiliki interrelasi satu sama lain.
Interrelasi ini berada dalam ruang lingkup pemikiran Islam, yang dinilai oleh Buya Mas'oed Abidin sebagai sebuah garis tengah yang menjadi "benang hijau" terhadap segala bentuk pemikiran yang ada. Sebagai sebuah garis tengah yang menjadi "benang hijau", dia tidak mengalami gesekan‑gesekan pemikiran dan mengambil segala bentuk pemikiran konstruktif dan meninggalkan pemikiran destruktif.
Hal ini dikemukakan Mohammad Natsir melalui upaya membangun masyarakat besar melalui masyarakat kecil dan sederhana. Istilah yang pas untuk menjelaskan hal ini adalah melalui pembentukan cara hidup berdikari terhadap diri sendiri, tanpa tergantung kepada orang lain (self help), kemudian membantu orang lain tanpa pamrih, ikhlas karena Allah SWT (selfless help), terakhir adalah membentuk sebuah ketergantungan untuk membantu satu sama lain (mutual help).
Cara hidup ini merupakan konsepsi pemikiran Mohammad Natsir yang dikembangkan beliau menjadi dasar pembentukan kerjasama antara negara yang mendasari bentuk hubungan inernasional yang mampu menciptakan tata perdamaian dunia. Ketiga dasar tersebut merupakan dasar pembentukan masyarakat tamaddun (beradab), sebagaimana yang menjadi dasar pemikiran Anwar Ibrahim melalui buku "Kebangkitan Asia" (The Asian Renaissance, 1995).
"Kebangkitan Asia" (The Asian Renaissance) bukanlah sesuatu yang bersifat "kebangkitan ekonomi", tetapi merupakan sesuatu yang bersifat moral (the moral renewance). Sebagai sebuah "pembersihan moral" (the moral renewance), maka peranan agama Islam menjadi penting. Kepentingannya terletak kepada kemampuan aplikasi dari segala ide atau pemikiran yang dilaksanakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh pengertian globalisasi yang diartikan sebagai ruang lingkup pemikiran yang bisa dilaksanakan di tengah masyarakat (The policy making something worldwide in scope or application).
Relevansi pengertian "globalisasi" dalam konteks pemahaman ajaran agama Islam di atas dapat dilihat dari kata‑kata DR. Sidek Baba, timbalan Rektor UIAM Malaysia dalam seminar Kebangkitan Peranan Generasi Baru di Asia Tenggara di Pekanbaru 21‑23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pemahaman ajaran agama Islam dengan aspek globalisasi kehidupan yang terjadi dunia saat ini. Sebagai sebuah proses globalisasi, ajaran agama Islam tidak dapat berdiri sendiri, tanpa bersinggungan dengan lalu lintas ide atau pemikiran yang ada di dunia sekitarnya.
Interaksi ini mengharuskan pemahaman ajaran agama Islam tidak lagi secara eksklusif dalam ruang lingkup pergaulan hidup sehari‑hari dalam sebuah komunitas sosial yang tertutup dari dunia sekitarnya, tetapi harus bersifat inklusif untuk bisa dipahami oleh semua orang. Peranan pemikiran baru dalam mencerahkan problematika sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam segenap masyarakat yang ada dari proses westernisasi yang dibawa kebudayaan Barat, merupakan salah satu antitesis terhadap masalah (kondisi) tersebut.
Pemikiran Mohammad Natsir merupakan pemikiran ahlul salaf yang berada di tengah‑tengah sebagai upaya penjelmaan umat pertengahan (ummathan wassatahan) yang dikemukakan ajaran Al Qur'an. Sebagai sebuah pemikiran aplikatif terhadap problemtika sosial yang ada, maka penerapan terhadap segenap ide (pemikiran) yang ada merupakan sebuah kebutuhan mutlak yang diharapkan masyarakat saat ini.
Frustrasi sosial yang melahirkan agresi dalam segenap bidang kehidupan dilahirkan oleh kesenjangan antara sebuah ide dengan aplikasi ide tersebut. Kesenjangan ini merupakan sebuah pemikiran Natsir yang diatasi oleh pembentukan masyarakat self help, selfless help dan mutual help di atas. Upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut hanya bisa dilakukan melalui kata‑kata terakhir, sebelum beliau wafat, yang diucapkan Natsir kepada Buya Mas'oed Abidin: "Berorientasilah kepada ridha Allah SWT."
Kata‑kata ridha merupakan maqam (tingkatan) terakhir dalam maqam (tingkatan) rohani kehidupan tasauf (pembersihan diri). Maqam ini hanya bisa dicapai setelah melalui maqam‑maqam di bawahnya, seperti taubat, wara, zuhud, shabr, fakir dan tawakkal.
Ketujuh maqam tersebut hanya bisa dilalui oleh mereka yang telah mengalami pencerahan (enlightenment), baik dalam bidang pemikiran maupun spritual rohani. Pencerahan (enlightenment) tersebut dilakukan oleh mereka yang telah menjelajahi berbagai pemikiran yang ada dan melakukan penyaringan (filter) terhadap segala bentuk pemikiran tersebut, agar melahirkan pemikiran bersih, jernih dan bisa diterima oleh semua pihak, baik mereka yang setuju maupun mereka yang berseberangan dengan dirinya.
Proses ini dialami oleh Mohammad Natsir melalui kawah candradimuka intelektual melalui proses belajar yang panjang dengan berbagai guru‑guru beliau, mulai dari guru yang memiliki pandangan hidup dan pemikiran yang keras dan memiliki fanatisme agama yang tinggi seperti tokoh PERSIS Ahmad Hassan sampai dengan tokoh moderat dan sosialis, seperti HOS Cokroaminoto.
Di samping itu, proses pencerahan dan sikap politik beliau dibentuk juga oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup. Beliau tidak saja dianggap sebagai politisi aktif yang hidup dalam masyarakat, tetapi juga sebagai the political thinkers atau the political idea philospher.
Sebagai seorang the political thinkers atau the political idea philospher, maka peranan masyarakat kecil merupakan ide (pemikiran) politik beliau yang utama. Ide (pemikiran) tersebut dituangkan dalam bentuk upaya menciptakan sebuah produk kerajinan kecil (handicraft) dalam masyarakat yang dinela saat ini sebagai "satu desa satu produk" (one village one product).
Pemikiran "satu desa satu produk" (one village one product) yang dilaksanakan oleh Gubernur Sumatera Barat, H. Hasan Basri Durin berdasarkan pola pengembangan ekonomi masyarakat kecil di Jepang, merupakan salah satu bentuk pemberdayaan rakyat kecil (people empowerment) yang menjadi tiang proses kompetisi perekonomian dunia dalam proses globalisasi tersebut.
Dalam proses globlaisasi ini, hanya produk‑produk yang mampu bersaing pada tingkat pasaran dunia yang mampu memenangkan persaingan besar. Persaingan pasar tersebut ditentukan oleh speksifikasi produk yang menjadi unsur "kepercayaan" (trust), seperti yang diungkapkan oleh penulis sejarah Francis Fukuyama, pria Jepang yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat dan menduduki Dekan di George Mason University, Washington baru‑baru ini di Jakarta.
Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengemukakan tesis kesejarahan telah berakhir saat ini (The End of History), maka Natsir mengemukakan adanya tesis kesejarahan tersebut setiap saat dan tempat. Setiap ajaran Islam, mampu memberikan jalan keluar (solusi) terhadap problematika sosial umat manusia, dia berada dalam hati manusia yang mampu menangkap tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi di sekitarnya. Mereka yang mampu menangkap tanda tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut, mereka adalah orang‑orang beriman.
Apatisme politik dan bersikap menjadi "pengamat" dalam perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut adalah mereka yang memiliki selemah‑lemah iman (adh'aful iman). Sikap diam (apatis) dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang selalu mengalami perubahan hanya bisa diatasi dan dihilangkan dengan mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan, jangan fikirkan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, apa yang ada sudah cukup untuk memulai sesuatu, jangan berpangku tangan dan menghitung orang yang lalu.
Keempat kata‑kata tersebut merupakan amanat Mohammad Natsir untuk tidak menunggu perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam hidup ini, tetapi memanfaatkan segala perubahan tersebut untuk berhubungan kehidupan dunia luar disekitarnya.
Sikap hidup menjemput bola, bukan menunggu bola merupakan sikap hidup untuk mengantisipasi selemah‑lemah iman yang menjadi kata‑kata kunci perubahan sosial, politik dan ekonomi yang diinginkan Mohammad Natsir melalui tiga cara hidup yang dikemukakannya. Yakni, bantu dirimu sendiri (self help), bantu orang lain (self less help), dan saling membantu dalam kehidupan ini (mutual help),
Ketiga konsep hidup ini tidak mengajarkan seseorang untuk tidak tergantung kepada orang lain, ketergantungan akan menempatkan orang terbawa kemana‑mana oleh mereka yang menjadi tempat bergantung.
