Jumat, 09 Mei 2008

Umat Seimbang

Umat Seimbang
Oleh: H. Mas’oed Abidin

Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (umat manusia).
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (yakni dimudahkan kehidupan manusia baik di darat ataupun di laut), Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
” (Al Q.S.17, Al Isra’, ayat 70)

Betapa indahnya pernyataan Khalik Yang Maha Menjadikan.
Pernyataan tentang kesiapan umat manusia untuk hidup di atas dunia.
Manusia dipersiapkan sebagai makhluk utama.
Memiliki segala kelebihan.
Secara fisik, tubuhnya lengkap, kuat, cantik, penuh gaya.

Spiritnya (jiwanya) disempurnakan dengan akal dan pikiran.
Punya keinginan dan kecerdasan (inteligensia), rasa (emosional), dan memiliki dorongan-dorongan (nafsu) untuk mewujudkan segala yang diingini.
Manusia dianugerahi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Dengannya manusia bisa menjadi umat yang memiliki keseimbangan (ummatan wasathan).


Alampun dijadikan bersahabat dengan manusia.
Segala sesuatu yang ada disediakan untuk sebesar-besar manfaat bagi hidup manusia. Laut dan darat adalah arena kehidupan, turun temurun.
Di sana manusia berkiprah (exploitasi alam) selama hayat dikandung badan.
Patah tumbuh hilang berganti, dari generasi ke generasi.
Melaksanakan pembangunan, perombakan ke arah yang lebih baik dan menjalankan reformasi.
Reformasi dalam bimbingan Tuhan selalu berasas horizontal.
Artinya, tidak satu kewajibanpun boleh ditinggalkan dalam memenuhi suatu kewajiban lain.

Manusia diminta untuk senantiasa akrab dan menjaga fungsi alam (laa tabghil fasaada fil ardhi -jangan buat bencana di permukaan bumi-).
Alam itu berperan pula menjaga keberadaan manusia, memberikan keselamatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Demikianlah satu siklus hidup yang aman dan menjanjikan kesejahteraan sepanjang masa. Bumi akan diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang baik-baik (shaleh).
Innal ardha yaritsuhaa ‘ibadiyas-shalihin.


Bila suatu ketika keseimbangan ini terganggu, penyebabnya tiada lain adalah hasil kurenah (perbuatan) tangan manusia sendiri.
“Zhaharal fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aydin-naas, li yudziiqahum ba’dal-ladzii ‘amiluu, la’allahum yar-ji’un ” Artinya ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. (QS. 30, Ar-Rum, ayat 41).


Demikianlah suatu sunnatullah (undang-undang baja alam) yang akan berlaku sepanjang perjalanan alam fana ini, hingga kiamat datang menjelang.
Suatu peringatan supaya manusia tetap bersiteguh hati dalam memelihara perannya, sebagai khalifah fil ardhi.

Untuk menata kehidupan ini tetap berjalan seimbang, maka Khalik ( Allah Rabbun Jalil)
memberikan pedoman (hidayah) yang jelas dan terang.
Berakar kepada kebenaran (haq) dari Allah dan berakhir dengan kebenaran dari Allah juga.
Itulah ‘Aqidah Tauhid’.

Aqidah tauhid memiliki perbedaan kontras dengan ilmu (knowledge).
Ilmu berawal dari ragu dan berujung kepada keraguan yang lebih besar.
Aqidah tauhid tidak sama dengan falsafah yang berisi tanya dari awal dan akan berakhir dengan tanya yang lebih besar di ujungnya.

Aqidah tauhid (keyakinan kepada kekuasaan Allah yang mutlak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Esa dan Maha Kuasa) akan melahirkan sikap tunduk dan taat.
Sehingga akhirnya tumbuh kesediaan manusia menyerahkan segala kemampuan akal dan gagasan pikiran, maupun hasil observasi dan eksperimentasi kepada kekuasaan Allah dengan pernyataan yang bersih, “Wahai Allah, Rabbanaa, tidak ada satupun yang Engkau jadikan ini sia-sia” (QS 3: 190).
Tatkala itulah ilmu memperoleh kebenaran.

Dalam buhul aqidah tauhid inilah Mukmin mendapatkan keseimbangan hidup yang prima. Sehingga bila melihat satu bencana mereka yakin itu hanya sebatas ujian dari Allah, yang menuntutnya bertindak lebih baik dan hati-hati di masa mendatang.

Pada kutub yang berbeda, berbarislah manusia yang mengingkari keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Tetapi mereka tutup mata hatinya dari keberadaan-Nya.
Untuk mereka berlakulah ketentuan Allah: Dan barang siapa yang membutakan mata hatinya di dunia ini (dari petunjuk Allah), niscaya di akhirat nanti dia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar.(QS 17: 72)

Manusia seperti itu akan merasakan azab menyiksa kehidupan.
Mereka akan sesak dada dan mengumpat kiri-kanan.
Mereka limbung kehilangan keseimbangan di tengah-tengah percaturan kehidupan.
Karena itu kembalilah kepada Allah, supaya Allah senantiasa memberikan perlindungan- Nya selalu.

Tidak ada komentar: