Kamis, 22 Mei 2008

Ummatan Washatan = Umat Seimbang

Umat Seimbang

Oleh : H. Mas'oed Abidin

Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (umat manusia). Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (yakni dimudahkan kehidupan manusia baik di darat ataupun di laut), Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Al Q.S.17, Al Isra’, ayat 70)

Betapa indahnya pernyataan Khalik Yang Maha Menjadikan.
Pernyataan tentang kesiapan umat manusia untuk hidup di atas dunia.
Manusia dipersiapkan sebagai makhluk utama.
Memiliki segala kelebihan.
Secara fisik, tubuhnya lengkap, kuat, cantik, penuh gaya.

Spiritnya (jiwanya) disempurnakan dengan akal dan pikiran.
Punya keinginan dan kecerdasan (inteligensia), rasa (emosional), dan memiliki dorongan-dorongan (nafsu) untuk mewujudkan segala yang diingini.
Manusia dianugerahi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Dengannya manusia bisa menjadi umat yang memiliki keseimbangan (ummatan wasathan).



Alampun dijadikan bersahabat dengan manusia. Segala sesuatu yang ada disediakan untuk sebesar-besar manfaat bagi hidup manusia. Laut dan darat adalah arena kehidupan, turun temurun.
Di sana manusia berkiprah (exploitasi alam) selama hayat dikandung badan.
Patah tumbuh hilang berganti, dari generasi ke generasi.
Melaksanakan pembangunan, perombakan ke arah yang lebih baik dan menjalankan reformasi.
Reformasi dalam bimbingan Tuhan selalu berasas horizontal.
Artinya, tidak satu kewajibanpun boleh ditinggalkan dalam memenuhi suatu kewajiban lain.

Manusia diminta untuk senantiasa akrab dan menjaga fungsi alam (laa tabghil fasaada fil ardhi -jangan buat bencana di permukaan bumi-).
Alam itu berperan pula menjaga keberadaan manusia, memberikan keselamatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Demikianlah satu siklus hidup yang aman dan menjanjikan kesejahteraan sepanjang masa.
Bumi akan diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang baik-baik (shaleh).
Innal ardha yaritsuhaa ‘ibadiyas-shalihin.

Bila suatu ketika keseimbangan ini terganggu, penyebabnya tiada lain adalah hasil kurenah (perbuatan) tangan manusia sendiri.
“Zhaharal fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aydin-naas, li yudziiqahum ba’dal-ladzii ‘amiluu, la’allahum yar-ji’un ”
Artinya ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. (QS. 30, Ar-Rum, ayat 41).



Demikianlah suatu sunnatullah (undang-undang baja alam) yang akan berlaku sepanjang perjalanan alam fana ini, hingga kiamat datang menjelang.
Suatu peringatan supaya manusia tetap bersiteguh hati dalam memelihara perannya, sebagai khalifah fil ardhi.

Untuk menata kehidupan ini tetap berjalan seimbang, maka Khalik ( Allah Rabbun Jalil)
memberikan pedoman (hidayah) yang jelas dan terang.
Berakar kepada kebenaran (haq) dari Allah dan berakhir dengan kebenaran dari Allah juga. Itulah ‘Aqidah Tauhid’.


Aqidah tauhid memiliki perbedaan kontras dengan ilmu (knowledge).
Ilmu berawal dari ragu dan berujung kepada keraguan yang lebih besar.
Aqidah tauhid tidak sama dengan falsafah yang berisi tanya dari awal dan akan berakhir dengan tanya yang lebih besar di ujungnya.

Aqidah tauhid (keyakinan kepada kekuasaan Allah yang mutlak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Esa dan Maha Kuasa) akan melahirkan sikap tunduk dan taat.
Sehingga akhirnya tumbuh kesediaan manusia menyerahkan segala kemampuan akal dan gagasan pikiran, maupun hasil observasi dan eksperimentasi kepada kekuasaan Allah dengan pernyataan yang bersih, “Wahai Allah, Rabbanaa, tidak ada satupun yang Engkau jadikan ini sia-sia” (QS 3: 190).
Tatkala itulah ilmu memperoleh kebenaran.

Dalam buhul aqidah tauhid inilah Mukmin mendapatkan keseimbangan hidup yang prima. Sehingga bila melihat satu bencana mereka yakin itu hanya sebatas ujian dari Allah, yang menuntutnya bertindak lebih baik dan hati-hati di masa mendatang.

Pada kutub yang berbeda, berbarislah manusia yang mengingkari keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Tetapi mereka tutup mata hatinya dari keberadaan-Nya.
Untuk mereka berlakulah ketentuan Allah: Dan barang siapa yang membutakan mata hatinya di dunia ini (dari petunjuk Allah), niscaya di akhirat nanti dia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar.(QS 17: 72)

Manusia seperti itu akan merasakan azab menyiksa kehidupan.
Mereka akan sesak dada dan mengumpat kiri-kanan.



Mereka limbung kehilangan keseimbangan di tengah-tengah percaturan kehidupan.
Karena itu kembalilah kepada Allah, supaya Allah senantiasa memberikan perlindungan- Nya selalu.


Carilah Redha Allah


Keberhasilan dakwah banyak di tentukan oleh indahnya hubungan sesama di dalam pergaulan sehari-hari.

Du'aat (juru dakwah) di lapangan medan dakwah tidak boleh menyendiri, apalagi tidak mau menyayangi masyarakat yang di dakwahinya. Satu keberhasilan du'aat banyak ditentukan oleh kesediaannya menerima dan mengormati jamaah yang datang mengunjunginya karena satu keperluan dakwah.

Du'at (juru dakwah) adalah pengayom, dan panutan.
Tempat bertanya, dan tempat mengadukan masaalah pelik yang tak mungkin dapat di selesaikan oleh jamaah secara sendiri.
Sikapnya dalam memuliakan tetamu (jamaahnya), senantiasa akan menjadikan pujian dan ukuran akhlaknya.

Seorang juru dakwah semestinya merasa senang dalam menerima tamu yang datang kearena dakwahnya. Dia tidak boleh menolak tamu yang mengharapkan bantuannya.
Dia harus selalu tanggap dengan kesulitan orang lain.
Bahkan dia memiliki dorongan kuat berbuat untuk kesenangan orang lain, dalam batas-batas hubungan yang harmonis dan saling menghormati.
Sebatas kemampuan yang ada padanya.
Sekecil-kecil bantuan yang bisa di berikan du'at (juru dakwah) adalah semangat, dorongan, atau hanyak senyum dan pernuh perhatian.


SELALULAH BERADA DI BAWAH NAUNGAN SYARI'AT ISLAM

"ORANG orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan¬nya dengan keaniayaan (kedzaliman), untuk mereka keamanan, dan mereka (golongan) yang memproleh petunjuk (hidayah)". (Q.S VI Al An'aam, ayat 82).

Tahun demi tahun telah kita lepas.
Setiap tahun baru dimulai, kita bukan dengan harapan harapan.
Sesuatu yang baik dari tahun silam, menjadi dambaan.
Namun kecemasan selalu menghantui kita.
Karena hilangnya keamanan dan ketertiban.
Hampir pada setiap sudut duni pada tahun yang baru kita lepas terjadi kemelut. Kadang kadang juga terjadi di samping kita.
Kemelut yang selalu berakhir dengan terinjaknya martabat kemanusiaan.
Hilangnya keamanan dan rusak¬nya nilai nilai kehidupan, yang manusiawi.
Dalam setiap keadaan terjadi kedzaliman atau keaniayaan.
Dalam berbagai bentuk.
Dia tampil ke permukaan bertepatan dengan saat saat manusia meninggalkan aturan aturan. Atau dikala orang mencecerkan hukum hikum Allah dan syari'at Agama NYA (Syari'at Islam).

Peringatan Allah Subhanahu wa ta'ala, menyebutkan :
Senantiasa orang orang kafir (orang orang yang meninggal¬kan hukum hukum Allah) itu, ditimpa bahaya, sebab perbua¬tan mreka sendiri, bahkan tiba bahaya itu dekan rumah mereka (dalam negeri sendiri), sehingga datang janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah memungkiri janji" (Q.S. XIII Ar Ra'ad, ayat 31).

Janji Allah, berupa munculnya rasa takut karena ulah manusia jua.
Hilangnya tauhid bertukar syirik, merupakan salah satu penyebabnya.
Hilangnya aman lantaran tumbuhnya kufur.
Terbangnya iman dari lubuk hati, sirna lah aman dari kehidupan.
Merajalelanya kedzaliman disebabkan lupa kepada hukum hukum Allah (hududallah).

Kebahagiaan manusia dan lingkungan yang aman terancam punah.
Tanaman kehidupan yang baik tak kunjung menjadi kenyataan.
Semuanya terjadi karena kesalahan manusia semata.
Ukuran "benar nya suatu kebenaran sering diukur dari kualitas pelakunya.



Kualitas kebenaran terabaikan.
Kualitas kebenaran, ukurannya adalah syari'at (aturan aturan) Agama Allah (Islam). Asasnya adalah iman dan taqwa kepada Allah semata.
Realisasi taqwa adalah kerelaan melaksanakan hukum Allah Yang Maha Kuasa.
Suka atau tidak. Di dalam syari'at itu, tercakup semua aturan, yang menyangkut harkat kemanusiaan.
Semua kaedahnya tertera dengan jelas, didalam syariat Islam.

Iman, tidak berarti hanya sekedar percaya kepada adanya Allah, tanpa diikuti serta perilaku.
Perilaku itu berupa amal shaleh.
Unsurnya adalah ikhlas, bersih dan lurus.
Ukurannya, sesuai dengan kehendak Allah yang di imani semata.

Amal, merupakan konsekwensi logis dari iman.
Aktivitas; sedemikian, melahirkan ibadah ibadah yang benar.
Teguh dan kokoh pada setiap perintah Allah.
Terjauh dari semua unsur keaniayaan.
Baik itu menyangkut hubungan individu, atau hubungan yang luas, hubungan masyarakat. Sampai kepada suatu tatanan kehidupan yang menyeluruh. Suatu aturan (syari'at), ruang lingkungannya universal.
Tidak membedakan pangkat dan derajat.
Tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa.

Pelaksanaan aturan aturannya tidak hanya terbatas pada kedudukan elit, juga tidak pada perbedaan kulit.

Dengan penerapan iman secara benar dan utuh ini, muncullah suatu sistem keadilan yang indah.
Rasulullah SAW bersabda,
Kehancuran yang telah menimpa ummat sebelum kamu, hanya (karena) ketimpangan penerapan hukum. Andaikata yang melakukan kesalahan (pencurian) atau korupsi, adalah orang orang terpandang di kalangan mereka, kalian telah membebaskannya (mereka kalian beri kekebalan hukum). Tetapi kalau yang melakukan pencurian (korupsi) adalah orang orang yang lemah (rakyat kebanyakan saja) diantara kamu, disaat itu (serta merta) kamu terapkan (kamu tegak¬kan) hukum dengan pasti. (Terjadilah apa yang terjadi, pudarnya kepastian hukum, dan hilanglah sumber keadilan). Demi kemuliaan Allah, andaikata Fathimah Binti Muhammad (putri Rasulullah sendiri) melakukan pencurian, pasti akan aku potong juga tangannya". (Al Hadist).

Terlihat di sini bagaimana halus dan tegasnya Syari'at agama Islam.
Suatu kepastian hukum, tanpa membedakan pelakunya.
Keadilan yang tidak mengena perbedaan peradilan.
Pernilaian tidak dititik beratkan kepada siapa pelakunya, tetapi kepada apa yang dilakukannya.
Dari sini lahirlah keadilan.
Dari sini pula tercipta keamanan yang kemudian menelorkan kebahagiaan.

Setiap orang tidak cemas akan perkosaan haknya.
Setiap pemerkosa hak, tidak akan merasa aman dari tangan tangan hukum, karena merasa memiliki hak hak istimewa.

"Kepastian hukum" yang diterapkan oleh Syari'at akan melahirkan "kesejahteraan" secara individu atau pun berma¬syarakat.
Tumbuh pulalah satu perlombaan yang sehat.
Saling memelihara tegaknya aturan.
Sama sama terpelihara karena tegaknya aturan aturan itu.
Sama sama bahagia dalam membangun, sama sama pula dalam membangun kebahagiaan.
(Syari'at Islam memulai langkahnya dengan nasehat.

Nasihat itu ditujukan untuk seluruh manusia.
Mencakup seluruh segi kehidupan.
Sumbernya pun jelas.
Nasihat yang berpangkal dari Allah (Al Qur'an).
Merujuk kepada contoh dan petunjuk pelaksanaan dari Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam), yang dikenal sebagai Sunnah Rasul.

Mematuhi Allah berarti mematuhi sunnah Rasulullah.
Satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan.


Tidak bisa diingkari atau ditolak.
Ad dien (Syari'at agama Islam) itu adalah nasehat. (Mau'izhah Hasanah).
Kami bertanya, atas dasar apa wahai Rasulullah?" .

Dengan tegas Rasulullah SAW menjawab .." dari Allah dan dengan Kitabullah (Al Qur'an), dan Sunnah Rasul.
Kemudian dengan kesepakatn pimpinan pimpinan ummat (dalam setiap urusan mereka dunia dan akhirat berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Nabi). (Al Hadist).

Dengan patokan ini, para Shahabat ber baiat kepada Rasulullah agar tegaknya Syari'at Islam itu dengan sempurna.
Di antara isinya, para Shahabat syirik, atau tidak mempersekutukan Allah.
Tidak melakukan pencurian, menjauh¬kan diri dari perbuatan korupsi, manipulasi dalam bentuk dan kesempatan apapun.
Tidak berzina, yang melingkupi kepada pergaulan bebas, sehingga kaburnya batas batas antara yang boleh dan yang tidak. Terutama dalam hubungan manusia berlainan jenis.
Tidak membunuh anak, baik itu secara penanaman nilai nilai fikrah yang tidak agamis. Semuanya dijalankan melalui jalur Nasihat Agama, mencakup syari'at Islam.


AL QUR'AN MENGANGKAT DERAJAT MANUSIA MENJADI MULIA

"Dan tiadalah kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melaintkan untuk (menjadi) Rahmat bagi Semesta Alam". (QS. 21 Al Anbiya ayat 107).

Sungguh benar, kedatangan Nabi Muhammad SAW menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Jika Nabi Muhammad tidak diutus sebagai Rasul, maka Al Qur'an pun tidak akan pernah ada.

Dengan sendirinya, kita tidak akan tahu, bagaimana keadaan manusia selanjutnya.
Sebab, kebuasan binatang adalah biasa, tetapi kebuasan manusia menyiakan sebuah persoalan.
Apalagi jika sampai kepada persoalan perkosaan manusia terhadap lainnya.
Begitu pula dengan alam sekeliling, pasti akan rusak di obrak abrik oleh kebejatan moral manusia.
Karena itu, kita harus bersyukur kepada Allah, yang mengutus Muhammad dengan disertai Al Qur'an.
Al Qur'an mampu mengangkat derajat yang hina, kepada derajat yang paling mulia di antara makhluk yang ada.


Rahmat
Setiap Rasul membawa rahmat bagi ummat manusia. Dengan sejarah yang disampaikannya dari Allah yang mengutusnya.
Tetapi, rahmat yang dibawa Rasul Rasul pendahulu, sebelum Muhammad SAW, hanya terbatas kepada kaumnya semasa saja.

Nabi Muhammad membawa rahmat bagi seluruh ummat manusia, tidak hanya di zaman dia diutus (semasa hidupnya semata).
Telah 15 abad berlalu, akan berlaku selalu sepanjang masa, berabad abad mendatang, hingga datangnya batas kiamat.

Ajarannya pun, tidak hanya terbatas bagi lingkungan tanah kelahirannya, tetapi melingkupi seluruh sudut bumi, dan lagi universal.

Kalau kita mau meneliti sejarah kemanusiaan, mulai manusia pertama, dan kita bandingkan dengan keadaan manusia kita sekarang, banyak hal yang kita temui untuk dikaji dan diteliti.
Kita sependapat, jumlah manusia masa lalu, lebih sedikit dari manusia masa kini. Secara macro, jumlah manusia selalu bertambah.
Penduduk bumi, semakin padat, dan bahkan dijadikan salah satu pasal dari problema yang mendunia.
Bahkan setiap detik, jumlah manusia di dunia makin bertambah.
Ilmu kedokteran yang berkembang, mengantisipasi angka kematian.
Ilmu kedokteran pun, berusaha memperpanjang usia manusia, melalui program peningkatan kesehatan, dan pemeliharaannya.

Bila kita sadar, mencoba mengambil garis balik penduduk dunia dari masa ke masa, kita pasti akan melihat jumlah penduduk manusia di dunia, angkanya terus menurun. Semakin jauh kita mundur, semakin sedikit jumlah yang kita hitung. Akhirnya, kita sampai kepada hitungan awal, hanya dua orang saja (Adam dan Hawa).
Dari sinilah pertambahan penduduk itu, sebagai cikal bakalnya.

Pertambahan penduduk, merupakan sesuatu yang sangat alami, sesuai dengan hukum alam, terdiri dari dua jenis manusia lelaki dan wanita.
Al Qur'an menjelaskan lebih rinci, diawali dari manusia seorang diri (Adam), kemudian daripadanya dijadikan seorang pasangan (Hawa).
Dari keduanya berkembangbiaklah manusia, hingga kini, esok dan seterusnya. (lihat QS.4 An nisa' ayat 1).


Luar Biasa
Kejadian manusis sungguh luar biasa.
Kita yakin, manusia pertama itu, benar benar ada.
Dan dia pasti tidak kera, juga tidak monyet.
Manusia pertama itu adalah manusia juga, seperti kita. Itu pasti.

Sebelum ada di bumi, jelas ada pendahulu kita.
Hubungan terpendek, adalah ibu dan bapak kita masing masing.
Bersambung terus ke atas, hingga sampai pada manusia asal, manusia pertama.

Hukum ini, berterima dalam jalur pikiran manusia.
Sebelum kita ada, kita tidak mengetahui, kita ada dimana, bahkan tidak tahu bagaimana keadaan kita.
Alangkah minimnya ilmu kita tentang diri kita ini, sebelumnya.
Namun kita yakin, keberadaan kita melalui satu proses "kelahiran".
Tidak seorang manusia pun, yang keberadaannya di sini, tanpa melalui "rahim ibu".

Sungguh luar biasa, penciptaan manusia, yang menge¬tengahkan satu proses, dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Tidak kah hal ini mengundang kita untuk merenungkan keberadaan kita sekarang? Dan banyak lagi pertanyaan yang tindih bertindih.
Akhirnya, hanya bermuara kepada Maha Suci Allah, Maha Pencipta.


Tidak ada taranya
Begitu juga, tentan "anak kisah" yang menemani kita sepanjang usia, yaitu bahasa, yang bermuara karena adanya kata kata.
Terpikirkanlah, bagaimana lahirnya kata kata itu pada permulaannya?
Apakah bahasa itu terwujud begitu saja? Siapakah yang mengajarkannya pertama sekali ?

Setiap kali kita mempergunakannya setiap kali pula kita alpa mensyukurinya. Berbahasa, adalah nikmat Allah yang tidak ada taranya.
Kita lupa berterima kasih, karena kita tidak mau memperhatikan semua ciptaan Allah. Keinginan untuk mengucapkan terima kasih, tidak pernah keluar dari diri kita, karena tidak pernah tahu, karena kita tidak mengerti apa yang harus diberi ucapan terima kasih.
Akal kita menjadi beku, karena kita tidak berkehendak menyelidiki nikmat Allah.



Kita telah mengabaikan ilmu, yang merupakan pemberian Allah, hingga kita termasuk juga orang orang yang tak berilmu untuk itu.
Orang yang tak berilmu, pada hakekatnya adalah orang yang tidak berakal.
Orang yang tak berakal, adalah orang yang tak pernah mengucapkan terima kasih.
Di sinilah terletak areal agama.

Bahwa agama itu, hanya bagi orang orang yang berakal.
Ujungnya manusia yang tak pandai berterima kasih kepada Allah Yang Maha Menjadikan manusia itu sendiri, bagaimana bisa dituntut untuk berterima kasih kepada semua manusia sendiri ?

Terima kasih, akan dibuktikan dengan bentuk ketundukkan, penghambaan dan pengabdian. Merasa diri kecil dihadapan Yang Maha Pemberi, Maha Rahman dan Maha Rahim. Penghambaan, merupakan bukti dari sebuah kecintaan yang luhur, siapapun yang mencintai sesuatu, berarti dianya bersedia memperhambakan diri kepada yang dicintainya.

Bahasa lahir, seiring dengan keberadaan manusia.
Kemudian kehidupan berkembang, dengan bertambahnya bangsa dan panjangnya masa yang dilalui.
"Dan Dia (Allah) ajarkan kepaa Adam nama nama (benda) seluruhnya" (QS. 2 Al Baqarah, ayat 31).

Peristiwa ini, sudah lama terjadi.
Sejak bumi pertama kali didiami manu¬sia pertama (Adam).
Allah mengajarkan pengertian pengertian tentang benda benda, memberikan kepada manusia akal, yang mampu menyerap ilmu, kemudian mengungkapkan dalam berbicara.
Manusia pun dibedakan dengan makhluk lainnya, dianta¬ranya dengan kemampuan berbicara, dan mensyukuri ni'mat Allah.

Al Qur'anlah pertama kali mengajarkan kepada kita, Allah mengajarkan pertama kali pula kepada manusia, ilmu berkata kata, melalui pengenalan benda benda.
Karena itu, bagaimanapun bentuk ilmu pengetahuan pada saat sekarang dan masa datang.

Al Qur'an tetap sebagai sumber segala ilmu dan pengetahuan.
Al Qur'an akan tetap menjadi penuntun manusia, agar tidak terjerumus kepada dalamnya jurang kehinaan.

Berbeda dengan ciptaan manusia
Ajaran agama, sangat berbeda dengan ilmu ilmu pengetahuan ciptaan manusia.
Ilmu pengetahuan, mengarah kepada persoalan yang khas duniawi, bersifat mengembangkan teori, mengadakan eksperimen, tidak mampu merobah watak manusia secara utuh.

Ilmu pengetahuan hanya mampu memindahkan "pengetahuan", kepada siapa yang mempelajarinya.
Ilmu pengetahuan kedokteran, hanya mampu mengubah sesuai dengan kepentingan ilmu itu sendiri.

Ajaran Agama, mengarah kepada perubahan watak manusia, yang berpengaruh kepada tingkah laku dalam kehidupan.
Ajaran agama, akan mengikat gerak dan jalan manusia.
Ilmu pengetahuan agama, akan berpindah kepada orang yang mempelajarinya, dengan suatu tuntutan agar orang mengubah sikap dan tingkah lakunya, sesuai dengan perintah agama (perintah perintah Nya), untuk setiap persoalan hidup manusia.
Dapatlah dikatakan, Ajaran agama, menunjukkan seluruh problematik kehidupan manusia, berikut cara penyelesaiannya.

Ajaran agama (yang bersumber dari Allah, dengan pedomannya Al Qur'an), berperan menyembuhkan penyakit yang melanda masyarakat manusia, yang melanda masyarakat manusia, lantaran kejahatan atau kerusakan moral manusia sendiri.



Segala penyakit dan wabah yang merusak nilai nilai kemanusiaan, akan disembuhkan secara total oleh ajaran agama, jika masyarakat manusia itu benar benar thaat mengikuti ajaran agama (Allah) itu.

Ajaran agama, itu berperan sebagai penangkal ancaman kerusakan dan kebejatan yang melanda masyarakat manusia.
"Dan kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang orang yang beriman". (QS.17 Al Isra', ayat 82).

Syifaa un atau penawar, adalah pengobatan dari segala penyelewengan dan kejahatan yang berjangkit di tengah kehidupan manusia.

Rahmatan, atau "rahmat", adalah penangkal, pencegah datangnya penyakit, yang merusak nilai nilai kemanusiaan itu.

Kitapun, sebagai manusia, berada di permukaan dunia ini, mempunyai satu tugas suci, selalu memelihara nilai nilai kemanusiaan kita, dengan cara yang ditetapkan oleh Maha Pencipta.
"Dan tidaklah diciptakan manusia, juga jin, melainkan hanya untuk pengabdian kepada KU (Allah)", (Al Qur'an).

Pengabdian kepada Allah (beribadah), adalah memungsikan aqal, dan menempatkan manusia pada konsentrasi yang benar.

Jelaslah agama tidak hanya berurusan dengan masalah akhirat semata, namun juga mengatur hakekat hidup manusia di dunia.

Sebuah pertanyaan, sudahkah kita hidup sesuai dengan harkat itu?
Begitu Allah memanggil dengan penuh kasih sayang Nya masihkan kita mengelak jauh dari Ajaran agamaNya?
Sahutlah segera dengan amal kebaikan.


Bukakan Pintu Hati

Penyelenggaraan usaha-usaha tersebut diatas memerlukan beberpa hal, baik yang bersifat psychologis ataupun technis;
1. Buka kan "pintu hati" dan "pintu rumah" kita bagi mereka yang memerlukan bantuan dalam rangka pemulihan ini. Tunjukkan minat kepada keadaan mereka dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.

Andaikata pun kita belum dapat memberikan bantuan kepada mereka sewaktu itu juga, sekurang-kurangnya sokongan moril kita harus berikan.

Hidupkan harapan mereka kepada kekuatan kerahiman Ilahi, suburkan kepercayaan mereka kepada kekuatan yang ada pada diri agar kita ketika itu, dengan hati yang lebih lega.

Hati yang lebih lega dan kembali berisi harapan niscaya akan menambah himmah mereka untuk bekerja terus.
Sekurang-kurangnya, akan menambah daya tahan mereka dan menghindarkan diri mereka pada perbuatan-perbuatan yang menyalahi hukum Syar'iy atau duniawi.
Sekali-kali jangan mereka meninggalkan kita dengan bermacam-macam perasaan, yang mematahkan hati mereka untuk menjumpai kita kembali.

2. Untuk kelancaran usaha pemulihan, diperlukan cara pencatatan yang sederhana dari mereka yang bertebaran itu, mengenai namany, alamatnya, kecakapannya dan lain-lainnya.
Catatan-catatan semacam itu diperlukan untuk memudahkan hubungan menghubungkan mereka dengan bermacam-macam bidang pekerjaan, sewaktu-waktu kita mengetahui terbukanya sesuatu kesempatan bekerja atau sumber pencaharian, yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan mereka.

3. Kumpulkan sebanyak-banyaknya bahan informasi dengan mempertajam mata dan telinga dengan hubungan korespondensi untuk mengetahui dimana ada, atau akan ada kesempatan penyaluran tenaga-tenaga tersebut baik dalam ataupun di luar daerah.

4. Ada seseorang telah terbuka kesempatan penyalurannya dalam suatu bidang pekerjaannya, janga lupa ;

a. meamanatkan kepadanya, supaya dia benar-benar membuktikan kesungguhannya dan senantiasa mempertinggi mutu pekerrjaannya dibidang yang akan ditempuhnya itu.
Dia harus membuktikan bahwa dia adalah salah seorang dari golongan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hidup, seperti kejujuran dan budi akhlak-akhlak pekerti yang baik.

b. Memesankan kepadanya, supaya bila apabila dia sudah mendapat sumber pencahariannya, jangan dia sendiri tenggelam di dalamnya.
Akan tetapi di samping pekerjaannya, hendaklah dia berusaha sedapat mungkin, merintiskan jalan bagi teman-teman yang masih bertebaran.

5. Tunjukkan minat kepada usaha-usaha yang telah atau sedang dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok berupa perusahaan sendiri, umpamanya dibidang pertanian, peternakan atau perusahaan kecil dan sebagainya.
Mereka ini termasuk golongan yang berani merintis dan mempunyai inisiatif.

Gembirakan semangat bekerja mereka dan berilah dorongan kepada perusahaan kecil yang diselenggarakan dengan tenaga sendiri atau bersama itu.
Kumpulkan bahan-bahan mengenai tata kerja dan pengalaman mereka masing-masing yang dapat pula dipergunakan sebagai pedoman bagi teman-teman mereka yang ingin menempuh bidan itu pula.

6. Di dalam beberapa hal, dalam pekerjaan semacam ini mungkin diperlukan menghubungi instansi-instansi resmi.
Tidak usah ragu-ragu atau khawatir bila untuk ini diperlukan menghubungi instansi-insntansi itu.
Hubungi mereka secara sopan, zakelijk dan correct, dengan tidak menggadaikan martabat pribadi.

Ada dua cara yang dimanapun juga tidak akan mendapatkan penghargaan, yakni ; cara sembrono yang tak tahu aturan, dan cara pengemis yang mintak-mintak dikasihani.

Barangkali timbul pertanyaan;
Kalau begitu macamnya usaha-usaha yang harus diselenggarakan mengingat teman-teman yang banyak itu, lalau bagaimana kita sendiri ?

Jawabnya; Sudah tentu masing-masing kita perlu mengusahakan agar dapur tetap berasap.
Ini kewajiban kita sebagai kepala keluarga.



Tetapi dalam pada itu, sudah menjadi pembawaan bagi seorang pemimpin bila ia hendak dianggap sebagai pemimpin bahwa dia terus memikirkan dan mengikhtiarkan kesejahteraan bagi umat yang dipimpinnya, di samping itu berusaha memenuhi kewajiban terhadap diri dan rumah tanggannya sendiri dengan sesatpun tidak memutuskan harapan atau ma'unah dan kerahiman Ilahi dalam keadaan bagaimanapun.

Amal dan ikhtiar kita dalam dua bidang kewajiban ini senantiasa sejalan dan berjalin.
Terkadang-kadang titik berat itu mungkin berkisar-kisar di antara dua bidang itu, menurut tuntutan keadaan disesuatu waktu.
Tetapi kedua-duanya tetap terjalin, dalam bagaimanapun juga.

Malah justeru di sa'at serba sulit itulah Umat menghajatkan benar bahwa para pemimpin mereka dapat dirasakan berada ditengah-tengah mereka dalam suka dan duka, dalam arti; tetap bersama-sama menghadapi persoalan mereka walaupun mereka tahu bahwa para pemimpin mereka itu tidak bisa, dengan serta merta, mengatasi berbagai kesulitan-kesulitan yang mereka alami.

"KAMU HANYA AKAN DAPAT PERTOLONGAN (DARI ILAHI) DENGAN, (MENOLONG KAUM YANG LEMAH DI ANTARA KAMU",


Ini adalah Sunnatullah.

"TIAP-TIAP KAMU ADALAH PEMIMPIN, DAN TIAP-TIAP PEMIMPIN AKAN DIMINTAK PERTANGGUNGAN JAWAB ATAS PIMPINANNYA".
Bukanlah begitu peringatan Rasul ?

Pemikiran-pemikiran (idea) yang tersebut pada pasal-pasal diatas itu belumlah komplet dan limitatif, yakni tidaklah terbatas hingga itu saja.
Satu dan lainnya dikemukakan sebagai penggugah dan pengantar pemikiran.
Kita percaya kepada pengalaman-pengalaman daya pikir daya cipta masing-masing kita yang sama-sama menghadapi kesempurnaan lagi dalam praktiknya, sambil berjalan.

Mungkin pula dari apa yang tersebut diatas timbul pendapat seolah-olah apa yang dikemukakan itu adalah barang lama, tidak ada yang baru.

Syukurlah kalau ternyata itu semua adalah hal-hal yang sudah lama dikerjakan orang, dan lantaran itu tentu, kitapun dapat mengerjakannya, asal mau.

Yang sudah terang ialah, bahwa barang yang lama itu tetap bagi kita akan baru, selama kita tidak atau belum kerjakan.

Barangkali juga dirasakan, bahwa di antara hal-hal itu ada yang demikian barunya sehingga sukar, malah rasa-rasa tak mungkin dapat mencapainya. Semboyan kita ialah ;
- Yang mudah sudah dikerjakan orang
- Yang sukar kita kerjakan sekarang
- Yang "tak mungkin" kita kerjakan besok
- Dengan mengharapkan hidayat Ilahi.


"Katakanlah : Wahai kaumku, berbuatlah kamu sehabis-habis kemampuan-mu, akupun berbuat"!



BANTULAH SAUDARAMU, ALLAH AKAN MEMBANTU KAMU

Alhamdulillah, sekali kali walaupun hanya satu jam kita sudah mulai bertemu dengan Matahari.
Warnanya tidak lagi kelabu walaupun asap belum habis.
Sekali kali hujan pun mulai turun pada beberapa tempat.
Namun asap belum juga reda.
Warna Matahari masih kemerahan, mengingatkan kita tentang pahitnya warna kehidupan di desa desa ter-pencil yang terseok seok akibat kemarau panjang.
Di antaranya Lunang Silaut. Penduduknya sudah mulai minum air kubangan bercampur luluk karena air bersih sulit dicari.

Bila kita sadari, dana yang bisa kita ulurkan itu banyak tersedia.
BAZIS umpamanya bisa saja mengeluarkan sebahagian Zakat yang dikumpulkannya untuk orang orang yang sangat memerlukan air dan makanan supaya masyarakat di desa yang sulit itu tidak menjadi kelaparan dan kehausan.

Bila kita bersedia membuka khazanah para Muhsinin masa lalu, kita bisa belajar kepada isteri Harun Al Rasyid (hanya sekedar contoh) yang bersedia menjual barang perhiasannya menggantinya dengan membuat sebuah parit (saluran) air menuju kota Madinah.
Dan manfaatnya dapat dirasakan sampai hari ini, walaupun berabad abad telah berlalu. Selama orang masih tetap meminum air yang dialirkan tersebut, jelas pahalanya selalu mengalir pula kepadanya (ini adalah sesuai menurut keyakinan aqidah Islam).



Untuk kasus Lunang kabarnya sudah lama dimintakan perbaikan perbaikan sumur air sebelum terjadi kemarau panjang.

Bila itu terlaksana dari dahulu, tentu masyarakat tidak akan terlalu susah pada hari ini.
Akan tetapi entah karena keterbatasan dana atau masih menunggu sebuah keputusan, perbaikan tersebut tak kunjung terjawab.
Akibatnya sangat fatal, air habis tatkala kemarau panjang datang dan asap ikut membantu cuaca makin kering.
Ironis sekali.
Bersediakan kita mengulurkan tangan untuk itu?

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan perbuatan.
Mudah mudahan masa kekeringan tidak akan lama.
Perlu kita ingat bahwa membantu orang lemah sebenar¬nya membuktikan bahwa kita adalah kuat.
Dan membiarkan orang yang lemah menjerit dengan kelemahannya, sebenarnya memberi tahu orang lain bahwa kita lebih lemah dari mereka.

Keengganan memperhatikan orang yang lain bisa berakibat Allah lupa memperhatikan kita.
Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassallam menasehatkan kita semua dengan sabda beliau yang sangat dalam artinya :
Man lam yahtamma bi ammril Muslimin falaisa minhum
Artinya :
Yang tidak mau tahu urusan sesama umat Muslim sebenarnya tidak pantas disebut kelompok Muslim.
Begitulah Rasulullah SAW

Mudah mudahan kita tidak tergolong kedalam klasifikasi yang disebut Rasulullah SAW ini.
Mari kita bantu Saudara kita yang sebenarnya sangat menunggu bantuan kita.


TEGURAN DAN NASIHAT PERTANDA KASIH SESAMA MUSLIM

Diriwayatkan, ketika Khalif UMAR bin Khatab (Ra), dimabil sumpah jabatannya, beliau menutup dengan sebuah pesan amanat. Pesan amanat ii ternukil dalam pidato pelan¬tikan Khalifah. Intisarinya sama dengan yang diucapkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash Shiddieq yang digantikan Umar bin Khattab R.A.

Pesan itu berbunyi, "minta supaya ada tegoran, jika ternyata Khalifah berbuat salah".
Maka bangunlah seorang dari hadirin, seorang rakyat biasa rakyat jelata , menanggapi lantas berkata"

"Demi Allah, jika kedapatan oleh kami ketidakjujuran pada dirimu, kami akan betulkan dia dengan pedang"..

Memang tajam kata kata yang diucapkan seorang awam ini. Disahuti langsung ajakan Khalif Umar (RA), untuk meminta ditegor, justru di tengah upacara pelantikan Khalif itu sendiri.

Suatu keadaan yang memang langka ditemui. Umar bin Khatab (RA), yang dikenal sebagai seorang yang berwatak "kertas", bahkan berdarah panas di antara para sahabat, memperlihatkan "jiwa besar" dengan serba ketenangan meng¬hadapi ucapan semacam itu.

Jawaban Khalfah Umar bin Khatab, merupakan "kata berjawab, gayung bersambut". Terjalinlah satu tali halus tetapi kokoh, antara pemimpin dengan ummat yang dipimpinnya.

Khalif Umar bin Khatab berkata.
"Demi Allah, Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan di tengah Umar bin Khattab, seorang yang sangg¬up membetulkannya dengan pedang (jika umar berbuat kesala¬han)"..
Seketika itu, terbentuklah apa yang disebut "social responsibility" yang memang amat besar manfaatnya bagi kelancaran tugas tugas pemerintahan.

Sebuah pernyataan
Pada kali lain, Khalifah Umar bin Khattab (RA), hendak menyampaikan sebuah "statement" kepada ummatnya.
Di tengah tengah majelis pertemuan itu, Khalifah Umar memulai dengan kata pembuka, "Dengarlah dan ta'atilah..."

Tiba tiba seorang dari hadirin ditengah Majelis Khalifah ini, berdiri dan menginterupsi, "Tidak akan kai dengarkan dan juga tidakan kami ta'ati.."
"Kenapa Tidak???", Kata, Khalifah Umar bin Khattab. "Kami mau, lebih dahulu Khalif menjelaskan, dari mana asalnya engkau memperoleh pakaian ini?" (Disaat itu Khali¬fah memakai pakaian yang tidak berasal dari distribusi, yang dibagikan secara merata kepada Umum.

Umar sedang memakai pakaian dari bahan lain.
Pada hal sebetulnya, perawakan Umar yang berbadan kekar dan tinggi itu tidak bisa memakai pakaian yang didistribusikan, lantaran kekec¬ilan).

Mendengar "koreksi" ini, Khalifah Umar bin Khattab (RA) tidak menjadi meradang, atau membanggakan kedudukan posisinya.
Dia bukanlah seorang yang berkuasa dengan sifat "pantang tersinggung, tidak boleh diganggu gugat".
Khalif orang besar dan berjiwa besar.
Mendengar pertanyaan setajam itu, Khalif Umar bin Khattab memanggil anaknya (Abdullah Ibnu Umar bin Khattab R.A 'Anhuma) sambil "tersenyum", dengan penuh kewibawaan, Khalif bertanya.
"Wahai Ibni Umar, dapatkah ku minta Allah jadi saksi atasmu, mengenai pakaian ku ini?". "Terangkanlah, apa ini pakaianmu?", tanya Umar, RA.

Maka Abdullah Ibnu Umar (putra Khalifah) menjelaskan kepada hadirin, pakaian yang dipakai Khalifah adalah pakaian kepunyaannya, yang dihadiahkannya kepada Khalifah yang juga "ayah kandungnya" sendiri.
Karena pakaian tersebut ternyata sangat cocok dengan ukuran badan Umar bin Khattab RA.
Anggota Majelis yang bertanya tadi, serta merta berkata: "(Kalau begitu), teruskanlah perintahmu wahai Khalifah, maka kami akan dengarkan dan kami akan ta'ati. (Insya Allah).

Demikianlah satu "cuplikan" seja¬rah, peri kehidupan para sahabat Rasulullah yang masih mengalami masa masa "nubuwwah".

Para sahabat saling memupuk "dhamir" masyarakat (social responsibility).
Mereka memulai dengan menawarkan diri sendiri jadi sasaran "amar ma'roef dan nahi moenkar", guna menyuburkan kekuataan pengendalian diri (self control) dan pengkoreksian diri dari masyarakat (social control).

Hal itu terjadi, karena teramalkannya dengan sungguh sungguh Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala),
"(tetapi) hendaklah kami bertolong tolongan atas kebaikan dan bakti (ketakwaan), dan janganlah kamu berto¬long tolongan dalam berbuat dosa dan permusuhan, dan hendaklah kamu takut kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu sangat keras siksanya" (QS.V Al ma'idah, ayat 2)


Tegur Sapa
"Ta'awun (saling pertolongan), sebuah aktivitas konkret.
Dia bisa bersifat koreksian dan tegoran.
Bukanlah sebuah "tegoran" diartikan sebagai satu tanda kebencian atu permusuhan terhadap pribadi seseorang yang melakukan kesalahan itu sendiri.
Tidak harus diartikan begitu.

Maka titik tolak kita sebagai seorang Muslim dan Muslimah dalam melakukan tugas "tegur sapa" (istilah di Minangkabau nya, senteng babilai, singkek ba uleh, ba tuka ba anjak, ba ubah basapo), karena "rasa kebencian" semata. Bukan didorong "rasa benci".


MERASAKAN LEZAT HUBUNGAN ROHANI


Hubungan jiwa antara pemimpin dan yang dipimpin tidak dijalin dengan suatu pidato jawaban yang panjang panjang, supaya sesuai gayung dengan sambut, seperti yang sering di dengar dalam acara acara resepsi.
Akan tetapi melalui satu perhubungan rohani yang teguh dan ikhlas, yang terbit dari cita cita hendak bersama sama dalam kegembiraan dan kedukaan, hendak sesakit dan sesenang, hendak sehidup dan semati.

Berbahagialah seorang pemimpin yang mempunyai hubungan bathin seperti itu, dengan ummat yang dicintainya dan mencintainya.

Beruntunglah pula satu umat yang ditengah tengahnya ada pemimpin tempat mengarahkan perasaan suka di waktu senang, menunjukkan perasaan duka di zaman susah.

Alangkah lezatnya hubungan rohani semacam itu, hubungan rohani yang terbit dari se cita cita dan se aqidah.

Hubungan rohani yang seperti itu bertambah dalam artinya dan tidak kurang kekuatannya bila datang marabahaya yang menimpa satu ummat.
Sebab dalam kenang kenangan ummat itu kesusahan yang sama diderita lebih dalam bekasnya daripada kesenangan yang sama sama dirasai.

Pertalian rohani yang seperti itu terbit dari satu hubungan yang rapat berdasar kepada sama harga menghargai.
Timbul dari nasib yang satu, dari kebudayaan yang satu, yang telah terjalin dan berlapis dalam sejarah ummat sampai menjadi satu pusaka lama harta bersama, aqidah yang sama sama hendak diperlindungi dan dipertahankan.

Apabila cita cita dan pertalian rohani itu sudah menjadi ikatan yang dipertalikan oleh perjalanan sejarah, maka waktu malapetaka datang menimpa tidak ada beban berat yang tak mungkin terpikul, tak ada korban besar yang tak mungkin direlakan oleh semua yang ada dalam ikatan, untuk memelihara keselamatan bersama untuk mencapai kejayaan bersama.
Sungguh lezat hubungan rohani yang seperti itu.

Luruskan Niat
Akan tetapi kelezatannya tidak mungkin dikecap selama belum lengkap syarat dan rukunnya, yaitu aqidah dan ukhuwwah.
Suatu bentuk dan susunan hidup berjamaah yang diredhai Allah yang dituntut oleh syari'at Islam, mengikuti jejak Risalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan tuntutan Kitabullah.

Kita sekarang merintis merambah jalan guna menjelmakan hidup berjamaah sedemikian yang belum kunjung terjelma di negeri kita ini, kecuali dalam khutbah alim ulama, pepatah petitih ahli adat, dan pidato para cerdik cendekia. Kita rintiskan dengan cara dan alat alat sederhana tetapi dengan api cita cita yang berkobar kobar dalam dada kita masing masing.

Ini nawaitu kita dari semula.
Ia murah, tapi tak dapat dibeli.
Ia dekat, tapi tak mungkin dicapai, sebelum terpenuhi bahan dan ramuannya.
Tak mempan disorongkan dengan perintah halus atau yang semacamnya itu.

Kita jagalah agar api nawaitu itu jangan padam atau berobah di tengah jalan.
Kita ikatkan ukhuwwah yang ikhlas bersendikan Iman dan Taqwa.

Maka, tidak seorang pun yang berpikirkan sehat di negeri kita ini yang akan keberatan terhadap penjelmaan masyarakat yang semacam itu.

Nilai amal kita, besar atau kecil, terletak dalam niat yang menjadi motif untuk melakukannya.
Tinggi atau rendahnya nilai hasil yang dicapai sesuai pula dengan tinggi atau rendahnya mutu niat orang yang mengejar hasil itu.
Amal kita yang sudah dan kita kerjakan tetapi tujuan nawaitu nya kita anjak.
Semoga dijauhkan Allah jualah kita semua dan keluarga kita dari kehilangan nawaitu di tengah jalan.

Amin.

Tidak ada komentar: