Selasa, 22 Juli 2008

Menghidupkan Madrasah di Sumatera Barat

Dari Seminar Problema Madrasah di Parabek, Ponpes Tak Sekadar Pendidikan Islam
Kamis, 03 Juli 2008

Revitalisasi peranan pondok pesantren (ponpes), persoalan krusial yang perlu dilakukan. Ponpes tak masanya lagi dipandang sekadar lembaga pendidikan berbasis Islam. Tapi, ponpes harus dapat menjadi motivator dan inovator, terutama dalam meningkatkan perekonomian ponpes sendiri secara khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya. Sehingga pesantren dapat lebih memberikan kontribusi yang lebih nyata di masyarakat dan menjadi roda penggerak perekonomian di masyarakat sekitarnya.

Demikian terungkap dalam seminar “Problema dan Prospek Madrasah” di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Sabtu (28/6) lalu. Dalam acara yang dihadiri pimpinan ponpes se-Sumbar dibuka Kakanwil Depag Sumbar, Darwas. Tampil sebagai pemateri Irman Gusman, Buya Masoed Abidin, ustadz Deswandi dari Thawalib Parabek dan Dirut Indosat.

“Pengelola pesantren perlu meningkatkan keahlian dan semangat kewirausahaan agar dapat survive. Juga, lebih competitive di era globalisasi dengan tetap menjaga jati diri ponpesselaku lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai motivator dan inovator untuk meningkatan perekonomian masyarakat,” jelas Wakil Ketua DPD RI, Irman Gusman.

Peran di atas, tambah Irman harus dimainkan ponpes. Apalagi selaku salah satu komponen masyarakat, ponpes memiliki kekuatan dan “daya tawar” dalam melakukan perubahan-perubahan yang berarti. Semua ini juga sesuai dengan salah satu rekomendasi World Islamic Economic Forum 2008 di Kuwait. Yakni, meminta kepada profesional dan pebisnis untuk mengajak kaum muda muslim untuk meningkatkan keahlian dan kewirausahaan. Sebab, semua ini mampu menciptakan peluang baru dan membuka lapangan pekerjaan serta bisa memelihara hubungan sesama muslim.

Salah satu contoh kegiatan pengembangan kemandirian ekonomi ponpes, tak lain pendirian dan pengoperasian koperasi sebagai wadah untuk belajar kemandirian, wirausaha (enterpreneurship) dan pengabdian bagi para santri. Kegiatan seperti membuka kedai dan warung kelontong dalam lingkungan ponpes dengan menyediakan kebutuhan sehari-hari para santri, serta usaha simpan pinjam pola syariah.



Irman Gusman (dua kanan) bersama Buya Masoed Abidin (dua kiri) ketika menjadi narasumber dalam ”Seminar Problema dan Prospek Madrasa” di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Sabtu (28/6) lalu.

“Intinya, ponpes merupakan salah satu institusi sosial yang mempunyai potensi ekonomi cukup besar dan sampai saat ini masih belum dimaksimalkan. Makanya, upaya penguatan ekonomi ponpes juga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya,” tukas Irman.

Selain pengembangan sektor ekonomi, menurut Irman juga perlu dilakukan, bidang ilmu yang diajarkan harus meliputi ilmu pengetahuan agama, ilmu pengetahuan umum dan keterampilan kehidupan (life skill) secara proporsional. Lalu, diperlukan sistem rekrutmen yang baik dan benar (good recruitment system) dan pelatihan profesi berkelanjutan (continuing professional education) untuk para guru pesantren. “Hingga, mampu melakukan delivery atas silabus mata pelajaran secara baik. Juga, mampu memberikan motivasi kepada peserta didik (santri) dengan keteladanan,” tukas Irman. (Rommi D)


AKIDAH TAUHID DAN AKHLAK QURANI
RUH DAKWAH PENDIDIKAN, STRATEGI MENGHIDUPKAN
PEMBINAAN MADRASAH, DI SUMATERA BARAT

Oleh : H. Mas’oed Abidin


PENDAHULUAN
Upaya dan usaha umat Islam di Sumatera Barat di dalam menghidupkan perguruan Islam yang disebut Madrasah (kini lazim disebut Pesantren) sepanjang sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Khusus untuk daerah Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat, upaya itu tampak jelas sejak dari mula pendiriannya oleh ulama di nagari dan masyarakat selingkarannya.

Demikian pula dengan pengembangan madrasah-madrasah itu, sejak dari surau, mulai dari wirid ke madrasah, sampai ke perguruan tinggi, selalu dengan perlibatan dan pemberdayaan semua potensi masyarakat, sejak dari kampong sampai ke rantau.
Usaha-usaha terpadu ini, telah melahirkan berbagai tingkat pendidikan, sejak dari tingkat awaliyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, ‘aliyah, hingga ketingkat kulliyah. Hasilnya, hingga saat ini, kita temui sebagai upaya bersama masyarakat, yang sesungguhnya sudah melalui rentang waktu yang panjang.

Selama dua abad sampai sekarang, sejak kembalinya tiga serangkai ulama zuama Minangkabau (1802), yaitu Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, lazim dikenal bergelar Tuanku Lintau. Ketiga mujahid dakwah ini telah membawa penyadaran pemikiran dan memacu semangat umat mengamalkan agama Islam yang benar di dalam kehidupan beradat di Minangkabau. Jalan yang mesti ditempuh adalah menggiatkan masyarakat menuntut ilmu.

PERKEMBANGAN INTELEKTUAL PENGUJUNG ABAD KE-19
Sumatera Barat menandai satu masa perkembangan sosial dan intelektual yang deras dipengujung abad ke 19. Diawali pulangnya putra-putra Minangkabau dari menimba ilmu di Mekah.

Mereka membawa ruh pembaharuan pendidikan Islam sebagaimana digerakan Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Ruh pendidikan madrasah di Minangkabau itu, tidak dapat dilepaskan dari pelajaran-pelajaran yang diberikan seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang banyak menyebarkan pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 Beliau adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855) , turunan dari seorang hakim gerakan Paderi yang sangat anti penjajahan Belanda.

Di samping itu ada seorang pembaru yang tidak dapat dilupakan, walau lebih dikenal di tanah serantau, yaitu Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956) . Syekh Taher Djalaluddin terbilang seorang tertua dan pelopor ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan di tanah Melayu. Dia juga adalah guru kalangan pembaru Minangkabau. Pengaruhnya tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah yang bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.


Ulama-ulama Minangkabau itu, di antaranya Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek (1860-1947) , M. Thaib Umar di Sungayang (1874-1920), Haji Abdul Karim Amarullah atau Inyik Rasul (1879-1945) , Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) , dan Syekh Ibrahim Musa . Mereka menyebarkan peranannya dalam mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bersifat modern.

Nafas yang ditiupkan oleh ruh dakwah pendidikan membawa satu perubahan besar dan signifikan di masanya. Para ulama suluah bendang di nagari memasuki era baru. Mereka menjadi kelompok pembaru di sisi ehidupan sosial masyarakat. Di antaranya Zainuddin Labai al-Yunusi (1890- 1934) di Padangpanjang.

MADRASAH DAN SURAU MENGAWAL RUHUL ISLAM
Umumnya para murid bekas ulama-ulama tersebut kemudian menjadi pelopor pembaruan pemikiran Islam di Ranah Minang melalui surau. Keadaan ini bergerak terus, sesuai dinamika dan tuntutan zaman, hingga ke masa pergerakan kemerdekaan.

Madrasah telah menjadi markas pergerakan bawah tanah (silent operation) menentang kaum penjajah, sehingga berakibat semua gerak dan geliatnya selalu dicurigai oleh penguasa penjajahan semasa. Dicatat oleh sejarah bahwa benang merah yang dipunyai para pejuang adalah terpelajar, beragama yang taat dan peribadi mandiri.
Dari surau penguatan madrasah dimulai. Orientasi pendidikan ditekankan pada penanaman aqidah. Didukung dengan ilmu ilmu agama, pembinaan fisik, dan mental (melalui latihan silat), pelajaran kesenian dan ketrampilan. Lulusan surau ideal inilah kombinasi ulama, pejuang, jiwa seni, mandiri dan terampil.

Setelah masuknya pendidikan modern awal abad ke 20 (1929) surau berkembang dengan sistem klasikal. Contohnya Madrasah Irsyadin Naas (MIN), Perguruan Diniyah Puteri, Thawalib dan Perguruan Muhammadiyah.


BERURAT KE HATI MASYARAKAT
Para pemuka masyarakat di masa itu umunya jebolan madrasah. Mereka memiliki pikiran maju rasional dan cinta tanah airnya. Sesuai bimbingan agama Islam yang diterima dari pelajaran surau dan madrasah. Para thalabah lulusan madrasah Thawalib dan pendidikan sistim surau, umumnya berkiprah di kampung halaman setelah selesai menuntut ilmu, dengan mendirikan sekolah-sekolah agama, bersama-sama dengan masyarakat, memulainya dari akar rumput.

Pemberdayaan potensi masyarakat digerakkan secara maksimal dan terpadu untuk menghidupkan pendidikan Islam. Untuk mencerdaskan umat dan menanamkan budi pekerti (akhlak Islami). Seiring pula dengan berlakunya kaedah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, para ulama adalah tempat meminta kata putus (bamuti).

Pandangan dan pemahaman para lulusan madrasah sangat nyata berbeda dengan anutan jebolan sekolah gubernemen di masa penjajahan. Maka tidak jarang terjadi di masa itu, ada pandanagan dan anggapan pemisah antara kaum ulama (santri, urang siak, mualim, urang surau) yang bersekolah di madrasah dengan kalangan ambtenaren berdasi berpentalon.

Perbedaan tajam itu, berakibat kepada perlakuan pemerintah masa itu, dalam melihat dan menilai madrasah, sebagai lembaga pendidikan kelas dua, bahkan terkesan berlawanan dengan pihak pemerintah.

Di masa perjalanan kemerdekaan, dan pembangunan sentralistik madrasah mengalami pembedahan-pembedahan pula pada tubuhnya.


DEKAT MENDEKATI
Pada dua decade 1970 pemerintah mulai membuka akses lebih besar ke dunia pendidikan madrasah Islam, dengan mulai melakukan rekonsiliasi dengan Islam melalui dekat mendekati dan penyesuaian penyesuaian (rapprochement). Terjadi penyeragaman. Ciri khas dari Madrasah mulai tiada.

Konsekwensinya, pendidikan dan program madrasah disejajarkan dan bergayut kepada pemerintah, maka akibat yang terasa adalah kurangnya kemandirian perguruan madrasah dinagari-nagari dan dampak negatifnya potensi masyarakat melemah.
Padahal pada awal keberadaan madrasah itu, sejak abad 18 sebagai kita sebut di atas para ulama penggagas dan pengasuh madrasah memiliki jalinan hubungan yang kuat dengan masyarakat. Ada suatu hubungan saling menguntungkan (symbiotic relationship). Sehingga madrasah menjadi kekuatan perlawanan membisu (silent opposition) dan respon pemimpin serta komunitas Muslim terhadap penjajahan.

Merosotnya peran kelembagaan pendidikan madrasah di Minangkabau dalam bentuk surau, telah mendorong pengasuh untuk mengadopsi sistim pendidikan seperti perguruan tradisional di Jawa.



Akibatnya, pemeranan masyarakat dan lingkungan di dalam menghidupkan kembali ruh pendidikan madrasah, khususnya dalam bidang dana dan daya (tenaga pengajar) menjadi kurang.

Madrasah hanya dapat hidup dengan dukungan pemilik badan pengasuh madrasah, serta pendapatan-pendapatan madrasah itu sendiri. Keadaan ini menjadi lebih berat, ketika madrasah menjadi anak tiri pemerintah seperti di masa lalu.

Ironisnya masyarakat lingkungan tidak pula mengaggap madrasah sebagai anak kandungnya lagi.
Sering terjadi madrasah lahir dan tumbuh sebagai anak yatim di lingkungan masyarakat yang melahirkan madrasah itu.
Peran serta masyarakat mesti ditumbuhkan kembali di dalam peningkatan manajemen pendidikan yang lebih accountable dari segi keuangan maupun organisasi, sehingga sumber finansial masyarakat dipertanggung jawabkan lebih efisien dan kualitas pendidikan – quality oriented – yang mendorong madrasah menjadi lembaga center of excellence.

Tantangan kesejagatan yang deras kini berupa materialistis, sekularistis, hedonistic dan hilangnya budaya luhur, menuntut agar Madrasah dapat menghasilkan anak didik berparadigma ilmu yang komprehensif, yakni pengetahuan agama plus keterampilan. Konsekwensinya sistim pendidikan Islam tidak boleh terpisah. Mesti menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Muslim keseluruhan.
Perlu penerapan nilai-nilai agama dan ibadah.

Penguatan perilaku beradat.
Pengintegrasian iptek, imtaq dan akhlaq.

Melalui pengembangan ini madrasah akan menjadi pusat membangun sahsiah generasi dengan sifat-sifat ruhaniah yang halus, dan sifat-sifat akhlaq yang mulia.
Secara ideal, peran madrasah adalah perwujudan dari tujuan pendidikan nasional yang "Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab, serta berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. (UU No. 20 th 2003, Sistem Pendidikan Nasional).

Dengan terjaganya ruh dakwah dan pendidikan, maka madrasah akan lebih mudah mencapai sasarannya. Membuat anak didik menjadi terdidik, berkualitas, capable, fungsional, integrated ditengah masyarakatnya. Inilah hakikat dari dakwah bil hal.
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.


PENDIDIKAN DAN PERAN DAKWAH
Peran da'wah di Minangkabau adalah menyadarkan umat akan peran membentuk diri mereka sendiri, إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ "Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib satu kaum, hingga kaum itu sendiri yang berusaha merobah sikap mereka sendiri."

Dalam kenyataan social dalam kehidupan anak nagari wajib diakui keberadaan mereka dengan menjunjung tinggi puncak-puncak kebudayaan mereka, menyadari potensi besar yang dimiliki akan mendorong kepada satu bentuk kehidupan bertanggung jawab.
Inilah tuntutan terhadap Da'wah Ilallah, yakni seruan kepada Islam -- agama yang diberikan Khaliq untuk manusia --, yang penyiarannya dilanjutkan oleh da'wah, untuk kesejahteraan hidup manusia. "Risalah merintis, da'wah dan pendidikan melanjutkan"


KEWAJIBAN MEMBANGUN GENERASI PENYUMBANG (INNOVATOR)
UUD 1945 meletakkan kewajibkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pendidikan Nasional yang meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian ada kewajiban membentuk generasi penyumbang dalam bidang pemikiran (aqliyah), ataupun pembaharuan (inovator) harus menjadi sasaran perioritas.



Keberhasilan akan selalu ditentukan oleh adanya keunggulan pada institusi di bidang pendidikan.
Pendidikan ditujukan untuk membentuk generasi yang menguasai pengetahuan dengan kemampuan dan pemahaman mengidentifikasi masalah yang dihadapi.
Seterusnya, mengarah kepada kaderisasi diiringi oleh penswadayaan kesempatan-kesempatan yang ada.

Generasi baru yang mampu mencipta akan menjadi syarat utama keunggulan.
Kekuatan budaya bertumpu kepada individu dan masyarakat yang mampu mempersatukan seluruh potensi yang ada.

Generasi penerus harus taat hukum.
Upaya ini dilakukan dengan memulai dari lembaga pendidikan (madrasah), masyarakat lingkungan, keluarga dan rumah tangga.
Memungsikan peranan ninik mamak dan unsur masyarakat secara efektif.
Memperkaya warisan budaya dengan menanamkan sikap setia, cinta dan rasa tanggung jawab, sehingga patah tumbuh hilang berganti.

Menanamkan aqidah shahih (tauhid) dengan istiqamah pada agama Islam yang dianut. Menularkan ilmu pengetahuan yang segar dengan tradisi luhur. Apabila sains dipisah dari aqidah syariah dan akhlak, niscaya yang akan lahir saintis tak bermoral agama. Kesudahannya, ilmu banyak dengan iman yang tipis, berujung dengan sedikit kepedulian di tengah bermasyarakat.

Bila pendidikan ingin dijadikan modus operandus didalam membentuk SDM, maka di samping kurikulum ilmu terpadu dan holistik, sangat perlu dirancang kualita pendidik (murabbi) yang sejak awal mendapatkan pembinaan terpadu.
Pendekatan integratif dengan mempertimbangkan seluruh aspek metodologis berasas kokoh tamaddun yang holistik, dan bukan utopis.


MEMBENTUK SUMBER DAYA MANUSIA BERKUALITAS
Kita berkewajiban membentuk SDM menjadi sumber daya umat (SDU) yang berciri kebersamaan dengan nilai asas "gotong royong", berat sepikul ringan sejinjing, atau prinsip ta'awunitas.

Beberapa model dapat dikembangkan. Pemurnian wawasan fikir disertai kekuatan zikir, penajaman visi, perubahan melalui ishlah atau perbaikan.

Mengembangkan keteladanan (uswah hasanah) dengan sabar, benar, dan memupuk rasa kasih sayang melalui pengamalan warisan spiritual religi serta menguatkan solidaritas beralaskan iman dan adat istiadat luhur.

“Nan kuriak kundi nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso”. Intensif menjauhi kehidupan materialistis, sebagai upaya menghadapi tantangan global. “dahulu rabab nan batangkai kini langgundi nan babungo, dahulu adat nan bapakai kini pitih nan paguno”.

Para pendidik (murabbi) adalah bagian dari suluah bendang dengan uswah hidup mempunyai sahsiah (شخصية) bermakna pribadi yang melukiskan sifat individu mencakup gaya hidup, kepercayaan, kesadaran beragama dan harapan, nilai, motivasi, pemikiran, perasaan, budi pekerti, persepsi, tabiat, sikap dan watak akan mampu menghadirkan kesan positif masyarakat Nagari.

Faktor kepribadian tetap diperlukan dalam proses pematangan sikap perilaku anak didik yang mencerminkan watak, sifat fisik, kognitif, emosi, sosial dan rohani seseorang.



Ciri kepribadian syarak yang mesti ditanamkan merangkum sifat-sifat,

1. Sifat Ruhaniah dan Akidah, mencakup ;
a. keimanan yang kental kepada Allah yang Maha Sempurna,
b. keyakinan mendalam terhadap hari akhirat, dan
c. kepercayaan kepada seluruh asas keimanan (arkan al iman).

2. Sifat-Sifat Akhlak, tampak di dalam perilaku;
a. Benar, jujur, menepati janji dan amanah.
b. Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan,
c. Tawadhu’, sabar, tabah dan cekatan,
d. Lapang dada – hilm --, pemaaf dan toleransi.
e. Bersikap ramah, pemurah, zuhud dan berani bertindak.

3. Sifat Mental, Kejiwaan dan Jasmani, meliputi,

3.1. Sikap Mental,
a. Cerdas, pintar, menguasai spesialisasi (takhassus),
b. Mencintai bidang akliah yang sehat, fasih, bijak.
c. Mengenali ciri, watak, kecenderungan masyarakat.

3.2. Sifat Kejiwaan,
a. emosi terkendali, optimis hidup, harap kepada Allah,
b. Percaya diri dan mempunyai kemauan yang kuat.
c. Lemah lembut, baik dalam pergaulan dengan masyarakat.

3.3. Sifat Fisik,
a. mencakup sehat tubuh,
b. berpembawaan menarik, bersih,
c. rapi (kemas) dan menyejukkan.

Senarai panjang menerangkan sikap pendidik berkelakuan baik, penyayang dan penyabar, berdisiplin baik, adil menerapkan aturan.

Mampu melakukan strukturisasi ruhaniyah.



Murabbi dapat mewujudkan delapan tanggung jawab dalam hidup;

1) Tanggungjawab terhadap Allah, dengan keyakinan iman dan kukuh ibadah istiqamah, beramal soleh dengan khusyuk dalam mencapai derajat taqwa dan mengagungkan syiar Islam dengan perilaku beradat dan beradab.

2) Tanggungjawab terhadap Diri, mengupayakan keselamatan diri sendiri, baik aspek fisik, emosional, mental maupun moral, bersih dan mampu berkhidmat kepada Allah, masyarakat dan negara.

3) Tanggungjawab terhadap Ilmu, menguasai ilmu secara mendalam dan menelusuri dimensi spiritualitas Islam dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan untuk tujuan kemanusiaan dan kesejahteraan umat manusia.

4) Tanggungjawab terhadap Profesi, tidak bertingkah menghilangkan kepercayaan orang ramai dan dapat memelihara maruah dengan amanah.

5) Tanggungjawab terhadap Nagari, mengutamakan keselamatan anak Nagari dan memfungsikan lembaga-lembaga pendidikan (surau) dengan ikhlas.

6) Tangungjawab Terhadap Sejawat, menghindari mencemarkan sejawat dan berusaha sepenuh hati mengedepankan kemajuan social karena Allah.

7) Tanggungjawab terhadap Masyarakat dan Negara, tidak mengabaikan kepentingan masyarakat atau negara dan selalu menjaga syari’at Allah.

8) Tanggung jawab kepada Rumah Tangga dan Ibu Bapa, dengan menghormati tanggungjawab utama ibu bapa dengan mewujudkan hubungan mesra dan kerjasama yang erat di antara institusi pendidikan dengan rumahtangga.


KESIMPULANNYA,

1. Ruh pendidikan madrasah afalah aqidah tauhid dan akhlaqul karimah. Pemetaannya akan berhasil di lapangan pendidikan dengan kesepakatan pelaksana-pelaksananya. Perlu digalang saling pengertian, koordinasi sesame, mempertajam faktor-faktor pendukung, membuka pintu dialog persaudaraan.

2. Ukuran madrasah berkualitas adalah kemampuan menampilkan nilai-nilai Al-Qur'an dengan gerak amal nyata yang terus menerus, dibuktikan dalam seluruh aktivitas kehidupan, dengan kemampuan bergaul, mencintai, berkhidmat, mengajak (da'wah), merapatkan potensi barisan dalam mengerjakan amal-amal Islami secara bersama-sama, sehingga berbuah pengamalan agama yang mendunia.

3. Setiap generasi Muslim yang ditempa di Madrasah mampu mengamalkan nilai-nilai Al Qur'an, dan wajib mengemban missi yang berat dan mulia, yaitu merombak kekeliruan ke arah kebenaran. Inilah yang harus selamanya dijaga menjadi ruh dari pembinaan madrasah.

4. Pembinaan Madrasah berkualitas dan mandiri berkehendak kepada gerak yang kontinyu, utuh dan terprogram. Hasilnya tidak mungkin diraih dengan kerja sambilan. Karena buah yang dipetik adalah sesuai dengan bibit yang ditanam, sesuai natuur-wet (sunnatullah, = undang-undang alami).

5. Madrasah adalah perangkat seutuhnya menuju kepada kemajuan. Di tengah tantangan berjibun ini, kerjakan sekarang mana yang dapat, mulailah dengan apa yang ada, karena yang ada itu sebenarnya sudah amat cukup untuk memulai. Tumbuhkan kesadaran keumatan yang kolektif. Setiap Muslim harus memulai melakukan perbaikan (ishlah) di bidang Da'wah dan Pendidikan. Kerja ini tidak akan pernah berhenti, dan akan berkembang terus sesuai dengan variasi zaman yang selalu berubah. Tujuan harus tetap menuju redha Allah. Inilah ruhnya Madrasah.

Wabillahitaufiq wal hidayah,
Padang, 25 Jumadil Akhir 1429 H / 29 Juni 2008 M.

Tidak ada komentar: