Rabu, 30 April 2008

Menciptakan Masyarakat Tamaddun


Menurut Mohammad Natsir






Menciptakan Masyarakat Tamaddun





Pengantar Redaksi:
Membicarakan dan mengenang Mohammad Natsir jelas tidak akan pernah lengkap, karena begitu saratnya khasanah "peninggalan" beliau dalam segala segi, baik agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, keteladanan, pemikiran, bahkan filsafat. Kali ini Fajar mengangkat salah satu "sudut kecil dari auditorium besar" peninggalan beliau.



Berikut hasil wawancara reporter Fajar dengan H. Mas'oed Abidin, salah satu kader beliau yang banyak mengikuti jejak langkah dan pemikiran beliau, bahkan sampai beberapa saat sebelum beliau menghadap ilahi di akhir hayat. Wawancara eksklusif ini ditulis kembali oleh Tamrin Kiram dan Kimpul.


Salah satu tema menarik saat ini adalah upaya menciptakan masyar­akat tamaddun (beradab). Konsep pemikiran ini merupakan antitesis terhadap degradasi moral yang dibawa oleh peradaban Barat.Konsep ini mulai difikirkan dan dirancang oleh beberapa politisi dunia, khususnya yang ada di Malaysia dan beberapa negara lain yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam.



Masyarakat tamaddun merupakan sebuah masyarakat integratif antara kondisi masyarakat yang ada, baik secara sosial, politik maupun ekonomi dengan problematika sosial dan pribadi yang ada di dalamnya. Ini sejalan dengan salah satu konsepsi Mohammad Natsir yang telah dirancang sejak tahun 1930‑an yang lalu, dan menjadi perwu­judan pada masa kini.


Dari Kesehatan sampai Mengatasi Adh'aful Iman
Berawal dari konsepsi tentang kesehatan. Mohammad Natsir membagi kesehatan atas empat bahagian. Pertama, kesehatan fisik. Kedua, kesehatan jiwa. Ketiga, kesehatan ide (pemikiran), dan keempat, kesehatan sosial masyarakat disekitarnya. Keempat kesehatan tersebut berada dalam ruang lingkup yang sama (integratif) yang memiliki interrelasi satu sama lain.



Interrelasi ini berada dalam ruang lingkup pemikiran Islam, yang dinilai oleh Buya Mas'oed Abidin sebagai sebuah garis tengah yang menjadi "benang hijau" terhadap segala bentuk pemikiran yang ada. Sebagai sebuah garis tengah yang menjadi "benang hijau", dia tidak mengalami gesekan‑gesekan pemikiran dan mengambil segala bentuk pemikiran konstruktif dan meninggalkan pemikiran destruktif.


Hal ini dikemukakan Mohammad Natsir melalui upaya membangun masyarakat besar melalui masyarakat kecil dan sederhana. Istilah yang pas untuk menjelaskan hal ini adalah melalui pembentukan cara hidup berdikari terhadap diri sendiri, tanpa tergantung kepada orang lain (self help), kemudian membantu orang lain tanpa pamrih, ikhlas karena Allah SWT (selfless help), terakhir adalah membentuk sebuah ketergantungan untuk membantu satu sama lain (mutual help).


Cara hidup ini merupakan konsepsi pemikiran Mohammad Natsir yang dikembangkan beliau menjadi dasar pembentukan kerjasama antara negara yang mendasari bentuk hubungan inernasional yang mampu menciptakan tata perdamaian dunia. Ketiga dasar tersebut merupa­kan dasar pembentukan masyarakat tamaddun (beradab), sebagaimana yang menjadi dasar pemikiran Anwar Ibrahim melalui buku "Kebang­kitan Asia" (The Asian Renaissance, 1995).


"Kebangkitan Asia" (The Asian Renaissance) bukanlah sesuatu yang bersifat "kebangkitan ekonomi", tetapi merupakan sesuatu yang bersifat moral (the moral renewance). Sebagai sebuah "pembersihan moral" (the moral renewance), maka peranan agama Islam menjadi penting. Kepentingannya terletak kepada kemampuan aplikasi dari segala ide atau pemikiran yang dilaksanakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh pengertian globalisasi yang diartikan sebagai ruang lingkup pemikiran yang bisa dilaksanakan di tengah masyara­kat (The policy making something worldwide in scope or applica­tion).


Relevansi pengertian "globalisasi" dalam konteks pemahaman ajaran agama Islam di atas dapat dilihat dari kata‑kata DR. Sidek Baba, timbalan Rektor UIAM Malaysia dalam seminar Kebangkitan Peranan Generasi Baru di Asia Tenggara di Pekanbaru 21‑23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pemahaman ajaran agama Islam dengan aspek globalisasi kehidupan yang terjadi dunia saat ini. Sebagai sebuah proses globalisasi, ajaran agama Islam tidak dapat berdiri sendiri, tanpa bersinggungan dengan lalu lintas ide atau pemikiran yang ada di dunia sekitarnya.


Interaksi ini mengharuskan pemahaman ajaran agama Islam tidak lagi secara eksklusif dalam ruang lingkup pergaulan hidup sehari‑hari dalam sebuah komunitas sosial yang tertutup dari dunia sekitarnya, tetapi harus bersifat inklusif untuk bisa dipahami oleh semua orang. Peranan pemikiran baru dalam mencerahkan prob­lematika sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam segenap ma­syarakat yang ada dari proses westernisasi yang dibawa kebudayaan Barat, merupakan salah satu antitesis terhadap masalah (kondisi) tersebut.



Pemikiran Mohammad Natsir merupakan pemikiran ahlul salaf yang berada di tengah‑tengah sebagai upaya penjelmaan umat pertengahan (ummathan wassatahan) yang dikemukakan ajaran Al Qur'an. Sebagai sebuah pemikiran aplikatif terhadap problemtika sosial yang ada, maka penerapan terhadap segenap ide (pemikiran) yang ada merupa­kan sebuah kebutuhan mutlak yang diharapkan masyarakat saat ini.


Frustrasi sosial yang melahirkan agresi dalam segenap bidang kehidupan dilahirkan oleh kesenjangan antara sebuah ide dengan aplikasi ide tersebut. Kesenjangan ini merupakan sebuah pemikiran Natsir yang diatasi oleh pembentukan masyarakat self help, self­less help dan mutual help di atas. Upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut hanya bisa dilakukan melalui kata‑kata terakhir, sebelum beliau wafat, yang diucapkan Natsir kepada Buya Mas'oed Abidin: "Berorientasilah kepada ridha Allah SWT."

Kata‑kata ridha merupakan maqam (tingkatan) terakhir dalam maqam (tingkatan) rohani kehidupan tasauf (pembersihan diri). Maqam ini hanya bisa dicapai setelah melalui maqam‑maqam di bawahnya, seperti taubat, wara, zuhud, shabr, fakir dan tawakkal.


Ketujuh maqam tersebut hanya bisa dilalui oleh mereka yang telah mengalami pencerahan (enlightenment), baik dalam bidang pemikiran maupun spritual rohani. Pencerahan (enlightenment) tersebut dilakukan oleh mereka yang telah menjelajahi berbagai pemikiran yang ada dan melakukan penyaringan (filter) terhadap segala bentuk pemikiran tersebut, agar melahirkan pemikiran bersih, jernih dan bisa diterima oleh semua pihak, baik mereka yang setuju maupun mereka yang berseber­angan dengan dirinya.


Proses ini dialami oleh Mohammad Natsir melalui kawah candradimuka intelektual melalui proses belajar yang panjang dengan berbagai guru‑guru beliau, mulai dari guru yang memiliki pandangan hidup dan pemikiran yang keras dan memil­iki fanatisme agama yang tinggi seperti tokoh PERSIS Ahmad Hassan sampai dengan tokoh moderat dan sosialis, seperti HOS Cokroamino­to.


Di samping itu, proses pencerahan dan sikap politik beliau diben­tuk juga oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup. Beliau tidak saja dianggap sebagai politisi aktif yang hidup dalam masyarakat, tetapi juga sebagai the political thinkers atau the political idea philospher.


Sebagai seorang the political thinkers atau the political idea philospher, maka peranan masyar­akat kecil merupakan ide (pemikiran) politik beliau yang utama. Ide (pemikiran) tersebut dituangkan dalam bentuk upaya mencipta­kan sebuah produk kerajinan kecil (handicraft) dalam masyarakat yang dinela saat ini sebagai "satu desa satu produk" (one village one product).


Pemikiran "satu desa satu produk" (one village one product) yang dilaksanakan oleh Gubernur Sumatera Barat, H. Hasan Basri Durin berdasarkan pola pengembangan ekonomi masyarakat kecil di Jepang, merupakan salah satu bentuk pemberdayaan rakyat kecil (people empowerment) yang menjadi tiang proses kompetisi perekonomian dunia dalam proses globalisasi tersebut.


Dalam proses globlaisasi ini, hanya produk‑produk yang mampu bersaing pada tingkat pasaran dunia yang mampu memenangkan persaingan besar. Persaingan pasar tersebut ditentukan oleh speksifikasi produk yang menjadi unsur "kepercayaan" (trust), seperti yang diungkapkan oleh penulis sejarah Francis Fukuyama, pria Jepang yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat dan menduduki Dekan di George Mason Universi­ty, Washington baru‑baru ini di Jakarta.


Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengemukakan tesis kesejar­ahan telah berakhir saat ini (The End of History), maka Natsir mengemukakan adanya tesis kesejarahan tersebut setiap saat dan tempat. Setiap ajaran Islam, mampu memberikan jalan keluar (solu­si) terhadap problematika sosial umat manusia, dia berada dalam hati manusia yang mampu menangkap tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi di sekitarnya. Mereka yang mampu menangkap tanda tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut, mereka adalah orang‑orang beriman.


Apatisme politik dan bersikap menjadi "pengamat" dalam perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut adalah mereka yang memiliki selemah‑lemah iman (adh'aful iman). Sikap diam (apatis) dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang selalu mengalami perubahan hanya bisa diatasi dan dihilangkan dengan mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan, jangan fikirkan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, apa yang ada sudah cukup untuk memulai sesuatu, jangan berpangku tangan dan menghitung orang yang lalu.


Keempat kata‑kata tersebut merupakan amanat Mohammad Natsir untuk tidak menunggu perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam hidup ini, tetapi memanfaatkan segala perubahan tersebut untuk berhu­bungan kehidupan dunia luar disekitarnya.


Sikap hidup menjemput bola, bukan menunggu bola merupakan sikap hidup untuk mengantisipasi selemah‑lemah iman yang menjadi kata‑kata kunci perubahan sosial, politik dan ekonomi yang diinginkan Mohammad Natsir melalui tiga cara hidup yang dikemukakannya. Yakni, bantu dirimu sendiri (self help), bantu orang lain (self less help), dan saling membantu dalam kehidupan ini (mutual help),


Ketiga konsep hidup ini tidak mengajarkan seseorang untuk tidak tergantung kepada orang lain, ketergantungan akan menempat­kan orang terbawa kemana‑mana oleh mereka yang menjadi tempat bergantung.







Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Hidupkan Dakwah Bangun Negeri
Jagalah Ibu Pertiwi, Jangan Jatuh di Pangkuan Komunis
Pak Natsir, dalam setiap pertemuannya dengan ahlul qurba yang juga merupakan inner circle dari perjuangan Islam dan harga diri umat di daerah, selalu mendengarkan keluhan tentang pesatnya gerakan misionaris. Lebih‑lebih sejak masa orde lama telah terkondisi seakan‑akan memberi peluang kepada gerakan missionaris tersebut atas dukungan orang‑orang komunis (PKI). Bahkan setelah PKI dihapuskan sebagai satu‑satunya tuntutan hati nurani rakyat dengan kepeloporan angkatan '66, orang‑orang komunis yang lari ketakutan mencoba berlindung di balik dinding lonceng‑lonceng gereja, setidak‑tidaknya inilah terjadi di Pasaman Barat, tatkala di bawah pimpinan Mayor Johan Rifai (Bupati Pasaman zaman Orla, narapidana seumur hidup, mantan aktifis PKI gol A).



Kondisi masyarakat yang runyam ini, menurut Pak Natsir hanya mungkin diperbaiki dengan amal nyata. Bukan dengan semboyan‑semboyan yang bisa memancing apatisme masyarakat atau melawan kebijakan penguasa di daerah.


Pak Natsir menasehatkan supaya kaedah yang selama ini telah dimiliki oleh umat Islam, ukhuwah dan persatuan, mesti dihidupkan terus. Diantaranya dengan membentuk perwakilan Dewan Dakwah Isla­miyah Indonesia di daerah propinsi Sumatera Barat yang diresmikan sendiri oleh Pak Natsir di Gedung Nasional Bukit­tinggi (sekarang gedung DPRD Tk. II Kodya Bukittinggi) 15 Juli 1968. (Baca juga: Kiprah DDII Tigapuluh Tahun red.)



Pertemuan bersejarah ini dihadiri oleh hampir seluruh ulama Suma­tera Barat. Para ulama tersebut tergabung dalam Majelis Ulama Sumatera Barat yang terang‑terangan anti komunis. Dalam ajaran Islam, Komunisme adalah kelompok dahriyyin atau atheis (golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan). Komunisme adalah ajaran kafir, begitu aqidah Islam.



Pertemuan itu juga diikuti oleh ninik mamak pemuka masyarakat yang datang berduyun‑duyun menyambut kehadiran pemimpin pulang. Antusias hadirin waktu itu terlihat secara spontan. Tidak ada satu kursipun yang kosong, tak ada tempat yang lowong yang tak diisi. Banyak hadirin yang berdiri bahkan ada yang hanya dapat duduk di lantai. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Perwaki­lan Sumatera Barat diresmikan sebagai perwakilan pertama di daerah di luar DKI Jakarta.




Kepengurusan pertama Dewan Dakwah di Sumbar dinakhodai para ulama kharismatik, seperti Buya H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo. Mantan Duta Besar RI di Irak yang juga adalah mantan Ketua Umum Masyumi Sumatera Tengah. Buya yang terkenal sangat anti komunis. Tahun 1968 Buya Datuk Palimo Kayo telah menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Sumbar, hingga akhir hayat beliau.


Kepengurusan Dewan Dakwah Sumbar diperkuat oleh Buya H. Nurman, Buya H. Anwar, Buya H. M. Bakri Dt. Rajo Sampono dan dari kalan­gan muda seperti Mazni Salam Dt. Paduko Intan, Djoefry Sulthany, Ratnasari, Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan lain‑lain.


Memang semua penggerak pertama Dewan Dakwah di Sumbar adalah keluarga besar Bulan Bintang dan tidak perlu dibantah, mereka adalah orang‑orang yang aktif dalam setiap gerak perjuangan Agama dan Bangsa. Jauh hari sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, mereka adalah pribadi‑pribadi yang sangat anti komunis. Di antaranya ada yang berada pada barisan Perintis Kemer­dekaan.


Namun, masih ada saja kalangan yang berpandangan sinis. Kalangan itu melihat bahwa di antara pengurus pertama Dewan Dakwah Isla­miyah Indonesia Sumatera Barat yang diresmikan tersebut, dicap sebagai kelompok orang‑orang "bekas pemberontak PRRI", istilah yang dihidupkan oleh PKI di tahun 1960‑an.
Padahal Pemerintah RI secara resmi telah mengeluarkan amnesti dan abolisi sejak tahun 1961 (lihat Keppres No.:659/th 1961). Maksudnya, tidak ada yang kalah, tidak ada pula yang harus merasa menang. Semua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun saat itu situasi terasa sangat menyakitkan. Kembali ke pangkuan Ibu Perti­wi, di saat Ibu Pertiwi berada "di pangkuan komunis".


Memang suatu kenyataan sejarah bahwa pimpinan pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak didirikan Februari 1967 itu, terdiri dari bekas‑bekas pemimpin dan pejuang Islam yang tangguh dan sangat anti komunis.


Mereka adalah KH Faqih Usman, DR Mohammad Natsir, MR Kasman Singodimejo, KH Nawawi Duski, Prawoto Mangku­sasmito, Buya Duski Samad, Buya HMD Datuk Palimo Kayo, Buya H A Malik Ahmad, H Zainal Abidin Ahmad, KH Shaleh Widodo, Bukhari Tamam, KH Hasan Basri, Prof Osman Ralibiy, Prof DR HM Rasyidi, KH Rusyad Nurdin, DR Bahder Djohan, dr Ali Akbar, KH Yunan Nasution, MR Syafruddin Prawiranegara,MR Assa'at, KH Muchlas Rowi, KH Amiruddin Siregar, Mokhtar Lintang, KH Gaffar Ismail, yang seba­gian mereka tercantum sebagai Badan Pendiri Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ketua Umum yang dipegang oleh Bapak DR. Mohammad Natsir diperkuat Sekretaris Umum Bapak Buchari Tamam, sampai kedua‑dua beliau itu dipanggil oleh Allah SWT.


Komposisi tersebut memang terdiri dari pemimpin‑pemimpin bekas partai Masyumi. Partai yang telah membubarkan dirinya karena berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintah Soekarno. Pemerin­tahan Orde Lama yang nyata‑nyata telah memberi angin berkembangn­ya komunis di Indonesia.
Terbukti pula, sebagian dari mereka, para pemimpin keluarga besar Bulan Bintang itu, adalah pelaku‑pelaku aktif, atau simpatisan PRRI, yang pada tahun 1961‑1967 oleh pencinta komunis disebut sebagai "bekas pemberontak PRRI".



Keberadaan keluarga Bulan Bintang dan bekas PRRI di Sumatera Barat waktu itu sebagai jawaban dan merupakan konsekwensi logis dari anti komunis. Keluarga Bulan Bintang dan PRRI jelas‑jelas merupakan satu kelompok yang memiliki ciri‑ciri khas /karakteris­tik (hal yang mumayizat) sebagai kelompok anti komunis, sudah sejak masa lalu, jauh sebelum adanya angkatan '66 atau bangkitnya Orde Baru.


Karena itu khusus untuk daerah Sumbar, kehadiran Dewan Dakwah disambut sebagai suatu harapan "yang akan mampu menjawab tantan­gan". Dewan Dakwah dianggap sangat istiqamah sebagai kekuatan anti komunis yang jelas‑jelas seiring dengan misi orde baru ketika itu sebagai orde anti komunis di Indonesia.


Keberadaan Dewan Dakwah diterima oleh kalangan tua dan muda seba­gai suatu kekuatan baru dalam memelihara kerukunan umat dan kejayaan agama. Hanya sebahagian kalangan yang tidak senang. Mereka umumnya kelompok‑kelompok non‑Islam yang mencemaskan keberadaan Dewan Dakwah. Mereka cemas seakan‑akan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia akan mencungkil kembali luka lama yang mulai bertaut.
Namun Pak Natsir menasehatkan: "Gubahlah dunia dengan amalmu dan hidupkan dakwah bangun negeri".





Menghidupkan Amal, Membentengi Aqidah



Memelihara Kerukunan dalam Beragama
Memelihara daerah dari bahaya gerakan Salibiyah berarti juga menjaga keutuhan nilai‑nilai adat yang terang‑terangan menyebut­kan bahwa ranah ini adatnya bersendi syara' dan syara' bersendi Kitabbullah. Selain itu memelihara keutuhan ukhuwah hanya dimung­kinkan dengan menghidupkan kembali nilai‑nilai "tungku tigo sajarangan" dalam melibatkan unsur‑unsur alim ulama ninik mamak dan para cendekiawan baik yang duduk dalam pemerintahan maupun yang ada di kalangan perguruan tinggi. Juga tak dapat dilupakan tentang peran kegotong‑royongan sebagai buah dari ajaran ta'awun sebagai inti aqidah tauhid.




Amal nyata yang diprogramkan oleh Pak Natsir dan ditinggalkan untuk dikerjakan di Sumatera Barat merupakan program yang amat monumental. Ada lima program pokok yakni:



1. Gerakkan kembali tangan umat melalui penguasaan keterampilan di desa‑desa sebagai usaha membina kesejahteraan bersama, artinya menghidupkan kembali ekonomi umat di desa‑desa. Desa adalah benteng kota dalam artian perkembangan ekonomi yang sesungguhnya.


2. Hidupkan kembali lembaga puro. Yakni kebiasaan menabung dan berhemat dalam satu simpanan bernama puro. Juga menghidupkan kebiasaan berinfaq, bersedekah dan berzakat sebagai suatu usaha pelaksanaan syariat Islam, menghimpun dana dari umat yang berada untuk dikembalikan kepada umat yang lemah (dhu'afak).


3. Hidupkan kembali Madrasah‑madrasah yang sudah lesu darah, karena kehabisan tenaga pada masa pergolakkan. Hidupkan masjid bina jama'ah dan tumbuhkan minat seluruh masyarakat untuk menghormati ilmu dan memiliki kekuatan Iman dan Tauhid, terutama memulainya dari kalangan generasi muda.


4. Perhatikan kesehatan umat dengan mendirikan Rumah Sakit Islam. Bila kita terlambat memikirkan kesehatan umat maka orang lain akan mendahuluinya, bisa‑bisa terjadi nantinya jalan dialih orang lalu. Membangun Rumah Sakit Islam adalah ibadah karena ada suru­han untuk berobat bagi setiap orang yang sakit (hamba Allah). Gerakan ini bisa berarti juga memfungsikan para ahli di bidangnya yang keislamannya sama bahkan tidak diragukan.


5. Perhatikan nasib pembangunan masyarakat di Mentawai. Mentawai itu adalah daerah kita dan semestinya kitalah yang amat berkepen­tingan dalam membangunnya. Bila orang bisa berkata bahwa Mentawai ketinggalan sebenarnya yang disebut ketinggalan adalah kita yang tak mau memperhatikan mereka di Mentawai itu.
Kelima program ini minta dilaksanakan tanpa harus menunggu waktu dan dapat diprioritaskan mana yang mungkin didahulukan walaupun sebenarnya kelima‑limanya merupakan pekerjaan yang amat integral. Modal kita yang utama untuk mengangkat program ini adalah kesepa­katan semua pihak dan dorongan mencari ridha Allah, begitu Pak Natsir mengingatkan kepada pemimpin‑pemimpin di kala itu.




Dari dorongan‑dorongan tersebut berbentuk taushiah pada mulanya akhirnya membuahkan hasil nyata.


Pada Oktober tahun 1969 Balai Kesehatan Ibnu Sina (cikal bakal Rumah Sakit Islam Ibnu Sina) yang mengambil tempat di rumah Dr. Yusuf dan rumah keluarga Dr. M. Jamil di Bukittinggi diresmikanlah beroperasinya Balai Keseha­tan Ibnu Sina oleh Proklamator Republik Indonesia Bapak. DR. Mohammad Hatta.


Satu sejarah baru telah dimulai yakni membangun balai kesehatan sebagai rangkaian dari suatu ibadah dan gerak dakwah. Keberadaan Balai Kesehatan ini disambut oleh seluruh lapisan masyarakat dari desa‑desa hingga ke kota, oleh pegawai sampai petani, dari ulama dan pejabat hingga pedagang dan perantau.
Serta merta seluruh pihak‑pihak tersebut membuka puro (persediaan harta) menyalurkannya dengan ikhlas untuk berdirinya Balai Kese­hatan Islam di Bukittinggi dan akhirnya menyebar ke Padang Pan­jang, Padang, Payakumbuh, Kapar (Pasaman Barat), Simpang Empat dan Panti dalam waktu yang sangat pendek hanya berjarak tiga tahun setelah peresmiannya dan akhirnya menjadi Rumah Sakit Islam Ibnu Sina.


Apa yang diperbuat oleh misi baptis selama ini telah dapat dija­wab oleh umat Islam di daerah Sumatera Barat dengan suatu amal nyata yakni melalui program dakwah illallah dalam bidang keseha­tan.


Seiring dengan itu masalah pendidikan pun dihidupkan seperti perhatian penuh terhadap lembaga pendidikan yang sudah ada (Thawalib Parabek, Thawalib Padang Panjang, Diniyah Padang Pan­jang dan banyak lagi yang lain). Disamping madrasah yang sudah ada dihidupkan pula madrasah baru seperti Aqabah di Bukittinggi dan madrasah‑madarasah Islam yang tumbuh dari masyarakat di desa‑desa.


Masalah keterampilan seperti pertanian dan peternakan terpadu di Tanah Mati Payakumbuh dan pemanfaatan lahan‑lahan wakaf umat di Rambah Kinali mulai di garap. Tujuan utamanya tidak hanya sekedar untuk mendatangkan hasil secara ekonomis namun lebih jauh dari itu. Diharapkan sebagai wadah pembinaan dan pelatihan generasi muda.


Pembangunan rumah‑rumah ibadah terutama di kampus‑kampus (masjid kampus) dan Islamic Centre tetap menjadi perhatian utama. Walau­pun ada suatu kampus yang amat memerlukan pembangunan sarana ibadah (masjid) merasa enggan dan takut untuk menerimanya terang‑terangan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia karena takut terbias politik Keluarga Besar Bulan Bintang (Masyumi). Seperti contoh dibangunnya masjid kampus di tengah komplek UNAND dan IKIP di Air Tawar Padang yang terhalang beberapa lama hanya karena ketakutan terhadap bayangan Masyumi semata. Namun akhirnya dengan pendekatan yang dilakukan oleh orang‑orang tua diantaranya Hasan Beyk Dt. Marajo dan Rektor IKIP Padang Prof. DR. Isyrin Nurdin terbangunkan jugalah masjid kampus yang diidamkan oleh setiap mahasiswa dan civitas akademika kedua perguruan tinggi di Padang itu. Dan sampai sekarang masjid kampus itu berkiprah dengan baik dengan nama Masjid Al‑Azhar kampus IKIP Air Tawar Padang.


Ketakutan pada Dewan Dakwah sejak dari mula merupakan bayangan tanpa alasan hanya sebagai suatu trauma psikologis semata atas pernah terjadinya pergolakan daerah (PRRI) dan pandangan yang kurang ilmiah terhadap Masyumi.


Suatu hal yang aneh memang bila dibandingkan dengan jumlah Ummat Islam di daerah Sumatera Barat yang boleh dikata hampir 100%, di kala sebahagian kecil diantar­anya menjadi phobi dengan gerakan Islam yang kebetulan dijalankan oleh orang‑orang yang kata mereka adalah ex. Masyumi atau Keluar­ga Besar Bulan Bintang.


1 komentar:

tamrin kiram mengatakan...

Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, Buya memposting kembali tulisan redaksi tabloid Fajar dahulu, meskipun cukup lama tulisan tersebut dibuat, tetapi ruh tulisan tersebut tetap memberi semangat hidup ke arah pola kehidupan islami yang dicerminkannya, terima kasih.
Wassalam. Wr.Wb
tamrin@fisip.unand.ac.id