Haji Mansur Daud Datuk PALIMO KAYO yang dikenal dengan panggilan " Buya Datuk ", (bagian I)
Profil Tokoh Ulama dan Adat
Diantara Seratus sepuluh nama tokoh ulama terkemuka Minangkabau yang didapati dalam daftar yang dirunut sejak pertengahan abad ke-19, bahkan pada masa sebelumnya sampai pertengahan abad ini, terdapat nama Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, atau dikenal dengan sebutan Buya Datuk Palimo Kayo. Nama yang erat kaitannya dengan dunia pendidikan Islam serta kepribadiannya yang kompleks, baik sebagai seorang ulama maupun penghulu di Minangkabau.
Deretan panjang nama ulama-ulama yang terentang dalam masa lebih dua abad itu merupakan realitas sejarah.
Sejarah menumbuhkan kearifan. Mungkin kita hanya akan terpaku ketika melihat perjuangan para pendahulu itu sebagai romantika masa silam belaka. Bukankah tujuan kiprah dan perjuangan mereka relatif sama berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh para ulama masa kini, yakni menegakkan dinul Islam.
Namun ada sisi-sisi yang ternyata amat mengesankan bila kita mengungkapkan kembali khasanah masa lalu itu.
Langgam, gaya hidup, perjuangan dan dakwah para ulama dahulu itu ternyata berlainan antara yang satu dengan lainnya.
Ciri khas masing-masing ulama menunjukkan karakter dan kekukuhan pribadi. Sesuatu yang terasa semakin hilang pada masa kini. Padahal sebenarnya apa yang kita anggap sebagai sejarah masa silam adalah bagian dari masa kini.
Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto (Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Mansur.
Orang tua berbahagia yang menyambut kelahiran putranya kala itu adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab.
Sebagai kepala keluarga, Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama.
Selain itu Syekh senantiasa berupaya agar semua anak-anaknya antara lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa'diah, Makmur dan Afifah agar giat belajar.
Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan keluarga di sekitarnya.
CIKAL BAKAL PEMIMPIN UMAT
Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud sudah diberikan oleh ayahnya, yang pekerjaannya memang memberikan pengajian dan ceramah-ceramah agama.
Besarnya perhatian dalam keluarga terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni Islam.
Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya, tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang pemimpin Muslim sudah mulai terlihat.
Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912. Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutnya, beliau pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvernment School sampai tahun 1915.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917.
Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA)[i], sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.
KE MEKAH DAN MENGEMBARA SEMASA MUDA
Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923. Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun.
Tetapi, lantaran adanya perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke Indonesia.
Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek.
Suasana politik yang tak menentu, yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib, membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghindari.
Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapinya selama ini. Beliau belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow, India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin perguruan tersebut langsung jadi pengasuh sekaligus pengajarnya.
Selanjutnya, H. Mansur Daud melanjutkan belajar agama pada Islamic College di Heydrabad, India. Dua bersaudara yang memimpin perguruan itu Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali cukup dikenal, sehingga mereka dijuluki Two Brother oleh masyarakat. Serupa namanya, perguruan tinggi agama Islam yang mereka pimpin juga cukup dikenal oleh masyarakat, terbukti banyak murid yang datang dari luar India. H. Mansur Daud adalah salah seorang diantaranya.
Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut ilmu di India. Pengembaraannya buat sementara ke mancanegara usai. Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau Jawa.
Catatan Kaki :
[i] HAKA adalah kependekan dari Haji Abdul Karim Amarullah, dikenal pula dengan sebutan Haji Rasul dan Inyiak DR. Abdul Karim Amarullah lahir di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, 10 Februari 1879 dan wafat di Jakarta tanggal 2 Juni 1945. Semasa kecil diberi nama Muhammad Rasul. Ibunya bernama Tarwasa, and ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang ulama besar pula. HAKA adalah seorang pembaru pemikiran Islam, ulama besar awal abad ke-20, dari Minangkabau, ayah dari Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Sebagai anak dari seorang ulama besar waktu itu, Abdul Karim Amrullah memulai pendidikannya dengan belajar agama di desa Sibalantai, Tarusan, Pesisir Selatan, diawali dengan belajar Al-Qur'an selama satu tahun. Pada usia 13 tahun ia belajar nahu dan saraf kepada ayahnya sendiri. Belajar di surau adalah bentuk pendidikan Minangkabau masa itu. Pelajaran selanjutnya ia terima di Sungai Rotan, Pariaman pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf selama dua tahun sampai menamatkan buku Minhaj at-Tallbin karangan Imam Nawawi dan TafsirJalalain.
Pada 1894 (usia 15 tahun), ia dikirim ayahnya ke Mekah untuk belajar ilmu agama Islam dengan seorang ulama besar asal Minangkabau, yaitu Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, yang saat itu menjadi guru dan imam Masjidilharam. Ia belajar kepada Ahmad Khatib selama tujuh tahun, bersama dengan putra-putra Minangkabau lainnya, di antaranya Muhammad Jamil Jambek dan Taher Jalaluddin. Di samping belajar dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, Muhammad Rasul juga belajar kepada beberapa guru, seperti Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa'id Yaman, dan juga kepada Syekh Yusuf Nabhani pengarang kitab "al-Anwar al-Muhammadiyah". Di samping Syekh Ahmad Khatib, pemikiran keagamaan Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Syekh Muhammad Rasyid Rida juga membentuk pola pemikirannya.
Pada tahun 1901 Muhammad Rasul pulang ke kampungnya setelah menimba ilmu di Mekah. Pengaruh pemahaman gurunya Syekh Ahmad Khatib, membentuk Muhammad Rasul menjadi seorang yang radikal mengahadapi adat Minangkabau serta keras berhadapan tarekat-tarekat yang berkembang masa itu di Minangkabau, khusus Tarekat Naksyabandiah. Syekh Ahmad Khatib, gurunya, telah menulis beberapa buku yang mengungkap kekeliruan tarekat tersebut. Dan Muhammad Rasul telah menerima pendirian dan sikap gurunya ini dengan baik. Maka, Muhammad Rasul mencoba meluruskan praktek-praktek tarekat yang tidak ada dasarnya dalam Islam.
Perjuangannya cukup berat, karena ulama yang sepaham dengannya tidak terlalu banyak. Ulama-ulama yang berseberangan dengan cara dan pemikirannya termasuk pengikut ayahnya sendiri, seorang syekh dari Tarekat Naksyabandiah. Pertentangan pendirian antara ayah dengan anak tak dapat dihindari. Namun, Muhammad Rasul yang telah bergelar "Tuanku Syekh Nan Mudo", tetap menjaga hubungan baik dan berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya si ayah yang mengetahui pendirian anaknya bangga karena anaknya telah menjadi seorang yang berpendirian, berani dan sulit dikalahkan tanpa hujjah yang sahih. Pertentangan dengan para penganut Tarekat Naksyabandiah inilah yang kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan pertentangan antara "Kaum Tua" dengan "Kaum Muda" di Minangkabau pada masa itu. “Kaum Muda” ini pada umumnya adalah murid-murid Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu Muhammad Rasul telah berganti nama menjadi H. Abdul Karim Amrullah.
Ketika disuruh ayahnya mengantar adik-adiknya, Abdulwahab, Muhammad Nur dan Muhammad Yusuf ke Mekah, Muhammad Rasul berkesempatan menambah ilmunya. Sebelum berangkat ia dikawinkan dengan Raihanah binti Zakaria, yang digelarinya sebagai "Raihanatu Qalbi" (Bunga Mekar Hatiku). Rasul mulai mengajar di rumahnya di Syamiah dan di Masjidil Haram dengan mengambil tempat di Bab al-Ibrahim. Namun, Ia tidak dibolehkan mengajar oleh Syaikh-al-Islam Muhammad Sa'id Babsil (Mufti Mazhab Imam Syafi'i). Maka, Rasul mengajar di rumah keponakan Syekh Ahmad Khatib. Di antara muridnya adalah Ibrahim bin Musa Parabek dan Muhammad Zain Simabur. Kedua murid ini kelak menjadi ulama besar di Minangkabau.
Musibah meninggal Istrinya setelah melahirkan anak yang kedua yang juga meninggal dunia di Sungai Batang, menyebabkan Muhammad Rasul kembali ke Minangkabau. Setelah mengerjakan haji tahun 1906, ia pulang ke kampungnya dan kawin dengan adik istrinya yang bernama Safiah. Dari perkawinan inilah pada tanggal 16 Februari 1908 lahir anaknya yang bernama Abdul Malik, yang kemudian hari menjadi seorang ulama besar Indonesia, yaitu Prof. Dr. HAMKA.
Setelah berdirinya Sumatra Tawalib, ide Haji Abdul Karim Amrullah ini diteruskan oleh murid-muridnya, seperti Abdul Hamid Hakim, A.R. Sutan Mansur, dan Zainuddin Labay El-Yunusy, dengan menerbitkan majalah al-Munir al-Manar pada tahun 1918 di Padangpanjang. Dalam lawatan ke Jawa pada tahun 1925, ia sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan. Kesan itu dibawa ke Sumatra Barat, bahwa Islam perlu diperjuangkan dengan sebuah organisasi. Perkumpulan yang ia dirikan sebelumnya dengan nama "Sendi Aman", ditukar menjadi cabang Muhammadiyah di Sungaibatang, Maninjau.
Muhammad Rasul juga aktif dalam organisasi "Persatuan Guru-Guru Agama Islam", yang didirikan H. Abdullah Ahmad pada tahun 1918. Pada tahun 1924 ia berdua dengan Abdullah Ahmad menjadi utusan kekongres kekhilafahan Dunia Islam di Cairo. Pikiran bernas dan berani yang beliau ketengahkan mendapat perhatian besar dari Syekh Abdul Aziz asy-Syalabi. Setelah menyelidiki latar belakang dan riwayat hidup tokoh ulama Minangkabau ini, Syekh Abdul Aziz asy-Syalabi bersama Syekh Khalil al-Khalidi, bekas Mufti Palestina, dan Athaillah Effendi, menteri urusan awqaf negeri Irak, mengusulkan gelar "Doctor Honoris Causa" kepada kedua ulama Minangkabau ini, melalui munakasyah ditengah kongres Islam itu, Syekh Husain Wali yang juga adalah Syaikhul Al-Azhar menganugerahkan gelar Doktor Ilmu Agama kepada Dr. H. Abdul Karim Amrullah pada tahun 1926 dari Kongres Islam Sedunia di Cairo, Mesir.
Sebagai seorang yang memperjuangkan nasib rakyatnya, dia dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada 12 Januari 1941 dia ditahan dan dipenjarakan di Bukittinggi, dan Agustus 1941 diasingkan ke Sukabumi. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942 ia pindah ke Jakarta. Muhammad Hatta, mengatakan bahwa beliau adalah ulama yang mula sekali menyatakan "Revolusi Jiwa" kepada Jepang di Indonesia, karena melawan keharusan menghormati Tenno Haika dengan membungkukkan badan ke arah timur laut. Ketika anaknya HAMKA ingin membawanya pulang, ia mengatakan bahwa dia merasa senang tinggal di Jawa.
Pada tanggal 2 Juni 1945 beliau mengembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta. Pikiran dan perjuangan ulama besar ini ikut membentuk watak dan semangat perjuangan ulama-ulama muda Minangkabau, diantaranya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar