Rabu, 01 Februari 2012

Menjadi Pemimpin itu amat berat, akan menjadi ringan dengan panduan agama

Menjadi Pemimpin itu amat berat, akan menjadi ringan dengan panduan agama

Perlu dingatkan bahwa pemilihan pemimpin merupakan satu ikatan kontrak yang disepakati dengan rakyat melalui proses penyerahan kuasa atau pemilihan umum.

Ijmak ulama menetapkan bahwa melantik pemerintah yang mampu melaksanakan tanggungjawab pemerintah dikalangan umat Islam hukumnya adalah wajib.

Kepimpinan bukan sekadar perjanjian antara pemimpin dengan masyarakat, tetapi juga merupakan ikatan perjanjian antara pemimpin dengan Allah SWT.

Pemerintahan adalah satu amanah dan disyariatkan bagi melanjutkan tugas kenabian dalam memelihara agama dan mentadbir urusan dunia umat Islam.

Rasulullah SAW juga telah berpesan kepada umatnya bahwa perlu ada dikalangan umatku yang menjadi pemimpin di dalam sebuah organisasi ataupun masyarakat demi melaksanakan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Kepimpinan itu semestinya didukung oleh keimanan kepada Allah SWT, cinta dan menghayati sunnah Rasulullah SAW serta berakhlak mulia di mana ianya mampu mengadakan hubungan yang baik dan harmoni dengan semua peringkat masyarakat.

Kita dapat belajar kepimpinan kepada Khalifah Umar al- Khattab RA yang boleh dijadikan contoh karena beliau adalah seorang pemimpin yang sangat disayangi oleh rakyatnya atas perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa terhadap rakyat.

Sesungguhnya umat Islam amat beruntung karena mempunyai seorang tokoh yang boleh dijadikan panduan dalam merealisasikan asas kepimpinan ini yakni Rasulullah SAW. Baginda adalah contoh yang dikagumi bukan saja oleh umat Islam malah disanjungi oleh musuh-musuh Islam karena mempunyai kebolehan dalam memimpin dan bertanggungjawab penuh ke atas perlaksanaannya.

Sesungguhnya pemimpin yang kehendaki ialah mereka yang tinggi budi pekerti dan akhlak yang merangkumi ciri takwa dan warak, mereka ini seorang yang sentiasa bercakap benar, amanah, bersih diri dari perkara haram dan meragukan, sentiasa tenang dalam keadaan biasa dan marah, kualitas maruahnya tampak dalam semua urusan agama dan dunia. Menyeru seluruh umat Islam sekalian bersama-sama melaksanakan tanggungjawab kita demi agama, bangsa dan negara dengan memilih pemimpin yang benar-benar beretika, bertindak selaras dengan apa yang dikata atau yang dijanjikan, bertanggungjawab menjaga kebajikan dan kesejahteraan rakyat yang dipimpin di dunia dan di akhirat.

Mengkhianati amanah kepimpinan adalah satu dosa besar yang akan menerima hukuman Allah di akhirat nanti.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Athabbarani, dari Abi Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah. “wahai Rasulullah”Kedzaliman apakah yang lebih dzalim dari kedzaliman itu sendiri? , Rasulullahpun menjawab : ”Sedepak (segenggam) tanah/harta yang dikurangi seseorang dari haknya seorang muslim, ataupun diambilnya tanah tersebut, kecuali kelak di hari kiamat dia akan mengelilingi tanah/harta tersebut sampai kedasar tanah yang paling dalam, dan sampai dimana dasar/bawah tanah tersebut batasnya, tak ada seorangpun yang mampu mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala.

Dia akan menggali/mengelilingi, dan menggantikan sejengkal tanah tadi sampai kedasarnya sekali, dimana sampai mana dasar tersebut berakhirnya tak ada seorangpun yang tahu, kecuali Allah Ta’ala.

Begitu besar dosa, dan ganjaran seseorang yang mengambil harta/tanah milik orang lain, ataupun menguranginya. Mengurangi apalagi sampai mengambil harta seseorang, sangatlah besar dosanya disisi Allah Ta’ala. Karena betapa Allah Ta’ala sangat menghargai jerih payah harta seseorang yang dicarinya dari hasil kerja tangannya sendiri, sementara ada yang mengambil seenaknya saja.

Di dunia ini, karena harta orang mampu melakukan segalanya, apa sajapun itu. Manusia banyak hancur terjerumus, bahkan menjerumuskan orang lain, karena harta, karena factor ekonomi, factor uang, harta dan kedudukan, jabatan. Mungkin, karena itu pula, betapa banyak ayat-ayat Allah Ta’ala, maupun hadits2 Rasulullah yang mengingatkan kita dalam masalah ini.

Lihatlah, betapa Allah Ta’ala menggantungkan amalan seseorang masih dalam kuburnya, belum lagi di padang mahsyar kelak, seseorang yang meninggal dunia, dan dia masih meninggalkan hutang yang belum sempat dibayarkannya.

Dari Anas ra berkata: Suatu ketika Rasulullah didatangkan dengan jenazah seseorang, untuk dishalatkan. Kemudian Rasulullah bertanya? :"Apakah dia punya hutang?" Mereka menjawab:"Iya". Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya Jibril melarang aku menshalatkan orang yang masih punya hutang, karena sesungguhnya orang yang masih punya hutang, nasibnya akan terkatung2 sampai hutangnya dilunasi … "

Ketahuilah wahai saudaraku, memperlambat hutang menghilangkan keberkahan hidup.

Betapa banyak diantara kita yang hakikatnya sudah mampu membayar hutang-hutang kita, namun kita sengaja memperlambatnya dengan berbagai alasan yang tidak begitu penting.

Ada-ada saja keperluan kita yang kita sampaikan pada yang memberikan hutang, untuk menunda hal tersebut. Tindakan tersebut bukanlah untuk memenuhi sebuah keperluan yang utama. Tetapi hanya semata ubtuk keperluan yang sekunder, bahkan keperluan kemewahan yang menampakkan hidup kelihatan lebih wah. Padahal semua itu, kita masih menggantungkan hutang kita pada orang lain.

Keberkahan hidup kita sendiri akan punah pada akhirnya.

Itu disebabkan, karena kesengajaan kita, bukan karena kondisi kita.

Seharusnya kita mampu hidup sesuai dengan kondisi financial kita.

Namun demi sebuah gaya hidup, gengsi, kita usahakan kelihatan mewah dikhalayak ramai.

Menyedihkan sekali.

Semoga hal ini, tidak terjadi untuk diri kita, anak cucu dan keturunan kita.

Hakikatnya hal inilah yang menjadi darah daging dari sikap bangsa kita.

Terbiasa mau kelihatan mewah, hakikatnya kita masih banyak hutang yang dapat menggantungkan amalan kita diakhirat kelak.

Bahkan masih dalam kuburpun, kita dibuat terkatung-katung olehnya.

Kalau kondisi benar-benar sulit dan tak berdaya, agamapun memberikan solusi yang tepat dan baik.

Kita saja yang terkadang tak mau mematuhi hukum agama.

Hal tersebut terjadi karena tabiat lebih condong pada kehidupan dunia dan senang hanya dapat pujian dari orang lain, ketimbang mencari ridha Allah Ta’ala.

Makan harta dari harta yang haram, salah satu penyebab dari tidak dikabulkannya do’a seseorang.

Diriwayatkan dari Imam Attabbarani, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata :

”Tatkala dibacakan ayat, “Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa-apa yang ada dimuka bumi ini dengan cara yang baik dan halal” ...

Maka berdirilah Sa’ad bin Abi waqas. “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah Ta’ala, agar do’a-do’a ku dikabulkanNya” ....,

Kemudian Rasulullah menjawab :

”Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu, niscaya do’a kamu terkabul, sungguh dimana jiwaku yang berada ditanganNya, apabila seseorang memakan sesuap makanan kedalam mulutnya dengan sesuatu dari harta yang didapatkannya dengan cara yang haram, sungguh, Allah tidak akan menerima amalannya selama 40 hari ( itu baru sesuap, bagaimana kalau 10 suap, apalagi 10 piring?), dan barang siapa yang darah dagingnya tumbuh dari daging didapatnya dari cara yang haram, maka neraka lebih berhak untuknya.”.

Cobalah kita bayangkan, kalau saja tanah/harta seseorang yang sejengkal,

dan sangat sedikit itu, kita kurangi/ kita ambil saja, hukuman yang akan kita terima,

dihari kiamat kelak (hati-hati bagi para pejabat/atasan/tuan rumah yang terkadang kita sering mengurangi hak bawahan, pembantu, faqir miskin, hak ortu kita),

kita harus mengelilingi/menggali tanah tersebut sampai kedasar tanah yang penghabisan.

Dimana letak batas penghabisan lapisan tanah itu ????

Tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala.

Harus berapa puluhan tahun kita melunasi untuk membayarkan harta yang kita ambil tersebut?

Amat mengerikan peringatan Rasulullah ini ....

Maka hindarilah mengambil hak orang lain ...

Betapa Allah ta’ala sangat menghargai harta benda milik manusia itu sendiri, padahal harta itu jelas-jelas adalah milik Allah hakikatnya.

Tetapi kita dilarang mengurangi hak dari harta benda seseorang apalagi mengambilnya dengan cara yang haram, bukan cara yang halal.

Agama Islam mengatur kehidupan manusia dari segala lini kehidupan.

Mulai dari bangun tidur, sampai tidur kembali, semua ada aturannya.

Tinggal manusianya saja lagi yang harus memilih, pilih dunia beserta keindahannya,

atau pilih akhirat dengan segala keindahannya pula.

Dan setiap pilihan hidup pasti memiliki resiko dan konsekwensi.

Dan Allah Ta’ala sudah banyak memberikan kita peringatan bahwa,

Wal akhiratu, khairu llaka minal uula, dan akhirat itu jauh lebih baik bagimu, ketimbang dunia”,

Dan tidaklah kehidupan di dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka”.

Tak berapa tahun yang silam kita dilahirkan dengan tangisan kita tatkala bayi, menjelang berapa saat kita dapat jalan, sekolah, kawin, punya anak, dan tua, akhirnya keliang lahat kembalinya. Allah Ta’ala berfirman, dengan mengingatkan kita aka nasal kita darimana, “Dari tanah kami menciptakan kamu, didalam hamparan tanah itu juga kamu hidup, dan pada akhirnya kamu kembali kedalam tanah juga”.

Apabila kamu mengurangi harta/hak seseorang,

apalagi kamu mengambilnya dengan cara yang tidak halal,

kelak kamu akan menggali/mengelilingi tanah tersebut sampai ke dasarnya.

Dan apabila kamu meninggal masih memiliki hutang,

kelak di dalam tanah yang kamu dikubur didalamnya,

nasib kamu juga terkatung-katung.

Dari tanah saja, kita dapat mengambil pelajaran yang sangat banyak dan mendalam,

apatah lagi dari harta yang lainnya.

Dari paparan ayat-ayat serta hadits-hadits diatas, dapat kita ambil kesimpulan:

  1. Hati-hati terhadap harta orang lain
  2. Hati-hati terhadap hutang kita
  3. Hati-hati terhadap harta kita sendiri
  4. Hati-hati terhadap bawahan/pembantu kita, jangan sampai haknya kita kurangi, dan jangan sampai membebani pekerjaan seseorang diluar batas kemampuannya, apalagi sampai kita tak membayar haknya sesuai dengan tenaganya.

Allahu Ta’ala ‘Alam,

Menyaksikan pemotongan Qurban di Mina

Wuquf di Arofah, pada Haji Akbar, Jum'at 2007

Mudzdalifah, @[1241212276:2048:Hamzah Hazairin Hasan]

Tidak ada komentar: