Rabu, 01 Februari 2012

Haji Mansur Daud Datuk PALIMO KAYO yang dikenal dengan panggilan " Buya Datuk ", (bagian II)

Haji Mansur Daud Datuk PALIMO KAYO yang dikenal dengan panggilan " Buya Datuk ", (bagian II)



AKTIFIS ORGANISASI

Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin. Sejak bergabung dengan beberapa tokoh itu, beliau terpacu untuk berkiprah dalam organisasi.

Pada tahun 1930 Mansur Daud kembali ke Indonesia dari India. Aktivitas organisasi dimulainya kembali dan diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib, Bukittinggi. Ketika berlangsung Kongres I Sumatra Thawalib (22-27 Mei 1930) yang mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), Mansur Daud ditunjuk sebagai salah seorang anggota Pengurus Besar PMI. Pada Kongres I PMI di Payakumbuh (5-9 Agustus 1930), ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PMI. Pada Kongres II PMI di Padang (9-10 Maret 1931), yang memutuskan mengubah organisasi sosial ini men­jadi partai politik yang dikenal dengan nama Per­satuan Muslimin Indonesia (Permi), ia pun ditun­juk sebagai sekretaris jenderal partai ini. Permi, yang berada di bawah pimpinan tokoh-tokoh Su­matra Thawalib dan para bekas mahasiswa dari Cairo (seperti Mochtar Luthfi dan Iljas Jacoub) ini, memperkenalkan ideologi "Islam dan kebangsaan".

H. Mansur Daud ikut berperan dalam membentuk partai politik Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Pada tanggal 2 Desember 1932 Mansur Daud ditunjuk Permi sebagai ketua pelaksana Algemene Actie Protes Vergadering Permi, semacam tim perumus yang akan menyusun rancangan protes ter-hadap kebijaksanaan Belanda yang melakukan ordonansi sekolah partikelir, yang lebih dikenal dengan nama ordonansi "sekolah liar".

Pada bulan Juli 1933 Permi melakukan sidang Pengurus Besar. Dalam sidang ini diputuskan bahwa Mansur Daud Datuk Palimo Kayo dipercaya menduduki jabatan ketua umum Permi sekaligus menjadi pemimpin umum majalah Permi yang bcrnama Medan Rakjat. Tetapi pemerintah Hindia Belanda melarang Permi melakukan pertemuan-pcrtemuan. Namun, larangan Belanda ini bagi Permi bukan halangan untuk bersidang.

Pada tanggal 10 Desember 1934, Mansur Daud ditangkap ketika mengkampanyekan rencana pro­tes yang telah disusun di Curup, Bengkulu, menyusul penangkapan pemimpin utama Permi, yakni H Jalaluddin Taib, H Iljas Jacoub, dan H Mochtar Luthfi. Ketiga tokoh ini kemudian dibuang ke Boven Digul. Datuk Palimo Kayo dipenjarakan di Bukittinggi. Tidak berapa lama kemu­dian ia dipindahkan ke penjara Suka Mulia di Medan. Ia baru dibebaskan dari penjara pada tahun 1935. Kemudian ia kembali ke Bukittinggi. Da­ri situ ia kemudian pergi ke Bengkulu, melakukan kegiatan dakwah pencarian dana pendidikan agama Islam untuk Sumatra bagian Selatan.

Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktivitas H. Mansur Daud. Pada tahun 1942 ia kembali aktif dalam kegiatan organisasi. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordinasi alim ulama Minangkabau.

Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak Canduang, sedangkan Datuk Palimo Kayo menjabat sekretaris. Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat. Jepang yang berupaya menghapus organisasi seperti Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seolah luput mewaspadai Majlis Tinggi Islam. Tokoh-ulama yang duduk dalam MIT sangat berpengaruh dalam sepak terjang pejuang ketika berhadapan dengan pihak Jepang kala itu.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, MIT se-Sumatra melaksanakan muktamar pertama. Semula berdiri, Badan Koordinasi MIT ini hanya untuk daerah Minangkabau, namun kemudian berkembang sehingga meliputi seluruh keresidenan di Pulau Sumatra.

Dalam muktamar ini disepakati untuk membentuk satu MIT Sumatra, dengan ketuanya Syekh Muhammad Jamil Jambek dan sekretarisnya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo. Dalam perkembangan selanjutnya, MIT memfusikan diri ke dalam Masyumi di Yogyakarta pada bulan Februari 1946. Masyumi di Sumatera pertama kali berkedudukan di Pematang Siantar, yang menjadi ibu kota Propinsi Sumatra ketika itu.

Pada tahun 1947, pemerintah pusat membagi Sumatra menjadi tiga propinsi, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Partai Masyumi pun membentuk pimpinan Masyumi untuk setiap pro­pinsi. Mansoer Doed Datuk Palimo Kayo pun ditunjuk memimpin Masyumi di Sumatra Tengah.

KIPRAH DALAM AGAMA DAN ADAT

Sejalan dengan kekalahan tentara Jepang, dan keberhasilan Bangsa Indonesia merebut kemerdekaan membuat segenap warga ingin mendarmabaktikan perjuangannya. H.Mansur Daud menggiatkan kiprahnya di bidang agama lewat dakwah dan ceramah di mesjid-mesjid. Ketika itu, Datuk Palimo Kayo muncul sebagai mubalig dan seorang tokoh Islam yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Upaya yang jelas dilakukan beliau adalah mendorong untuk membangun masjid, mushalla maupun sekolah agama. Hal terpenting, beliau sangat memperhatikan soal persatuan khususnya sesama alim ulama.

Dakwah yang disampaikan H. Mansur Daud, cukup didengar dan dihargai pendapatnya karena dinilai sebagai seorang mubalig yang istiqamah dan tetap eksis, terutama sejak M.I.T dan kemudian difusikan ke Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Buya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, tetap didahulukan selangkah, ditinggikan seranting oleh anak kemenakan. Diserahi posisi penting dalam adat sebagai seorang ninik mamak. Gelar adat yang kemudian dipangkunya adalah Datuk Palimo Kayo. Posisinya dalam raad (Dewan) Nagari dimanfaatkannya untuk memusyawarahkan soal harta pusaka bersama ninik mamak. Beliau juga aktif melakukan upaya meningkatkan dan mensejahterakan masyarakat khususnya di Minangkabau.

Pada tanggal 2-4 Mei 1953 di Gedung Nasional Bukittinggi, para pemuka adat Minangkabau yang melaksanakan musyawarah adat memilih Buya Datuk menjadi ketua umum Badan Permusyawaratan Adat Mi­nangkabau. Kemudian alim ulama dan mubalig se-Sumatra Tengah, dalam musyawarah mereka pada 20-21 Agustus 1953, sepakat membentuk Badan Permusyawaratan Alim Ulama dan Mubalig Islam Sumatra Tengah dan menunjuk Buya Datuk Palimo Kayo sebagai ketua umumnya.

Catatan :

Buya Datuk Palimo Kayo kalau mengetik namanya selalu dengan ejaan lama HMD Datuk Palimo Kajo. Nama beliau juga selalu disingkat dengan HMD yaitu inisial dari Haji Mansur Daud.

Tokoh Tokoh Masyumi yang dikarantina oleh pemerintahan Orde Lama dizaman kepemimpinan Presiden Soekarno dan baru dilepas setelah masa Orde Baru

Tidak ada komentar: